Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Gak nyangka. Serius. Ini beneran di luar dugaan. Akun saya, akun yang cuma berisi tulisan, gambar AI, dan instrumen random, tiba-tiba tembus 100K follower! Targetnya sih akhir tahun, eh malah kejutan Ramadan. Berkah puasa? Bisa jadi. Atau mungkin semesta lagi bercanda. Atau mungkin TikTok salah algoritma? Entahlah. Yang jelas, ini terjadi, dan saya masih dalam fase “ini beneran apa nggak, ya?” sambil sesekali menampar pipi sendiri. Sakit. Berarti nyata.
Jujur, saya pikir jalan menuju kepopuleran itu harus penuh drama. Harus ada nangis-nangisnya. Harus ada konflik sama bestie. Harus ada video viral kayak “5 detik sebelum kejadian” yang dramatis. Tapi ternyata, orang masih mau baca. Masih ada manusia yang rela meluangkan waktu untuk sesuatu yang bukan sekadar goyangan pinggul atau prank pura-pura nggak sengaja. Netizen, aku terharu. “Plis jangan berubah!”
Komentar yang masuk pun ajaib. Ada yang bilang, “Bang, baca tulisan lo kayak nostalgia masa kecil, pas masih baca buku di bawah pohon sambil diterkam nyamuk!” Ada juga yang nyeletuk, “Bang, ini beneran konten di TikTok? Kok rasanya kayak buka buku sastra!” Saya pun mulai curiga, jangan-jangan akun ini sudah tidak berada di TikTok, tapi di dimensi lain, dimensi di mana literasi masih dijunjung tinggi dan netizen masih membaca dengan seksama tanpa buru-buru komen, “Pertama!” atau “Bang, nggak ada kerjaan lain, ya?”
Tapi ya, kekuatan kata-kata itu memang magis. Bikin orang nangis sampai tisu abis. Sampai emak-emak di minimarket curiga kenapa persediaan tisu menurun drastis. Bikin orang ngakak sampai dikira kesurupan. Bikin orang jatuh cinta, padahal cuma baca. Bahkan ada yang curhat panjang lebar di DM. Macem-macem. Dari urusan kerjaan, cinta, sampe ketakutan akan tanggal tua. Bahkan ada yang curhat soal kucing tetangganya yang lebih sering main di rumah dia. Netizen, kalian luar biasa.
Hal yang lebih mind-blowing? Banyak yang pengen belajar nulis. “Bang, angkat saya jadi murid!” Katanya. “Bang, ajarin cara bikin orang menangis tanpa harus nendang jempol mereka ke sudut meja!” Begini ya, menulis itu bukan sulap. Bukan sihir. Ini proses panjang. Gak bisa instan kayak mie seduh. Tips saya simpel: menulis tiap hari. Mulai dari dua paragraf, besok tambah lagi. Tulis yang lagi rame. Tulis yang bikin mikir. Tulis yang bisa bikin orang kaget, ngakak, atau nangis. Yang paling penting, baca! Penulis tanpa bacaan itu kayak dompet akhir bulan, hampa, kosong, menyedihkan.
Oh, iya. Saya terbiasa menulis menggunakan Hp. Ya, Hp butut yang layar monitornya sudah retak. Hp android, China lagi. Itulah media saya merangkai kata-kata. Sampai kulit jari terasa perih. Biasa mojok di warkop reot itu. Kopi liberika yang membuat encer otak. Kenapa gunakan Hp, karena lebih mobile bila dibandingkan laptop atau Pc. Kadang juga gunakan laptop yang lumayan mahal, ups. Satu lagi, jangan terlalu banyak membaca teori menulis. Di situ masalah utamanya. Orang menjadi berat untuk menulis, karena selalu ingat teori. Kalau ingin menjadi penulis, ya menulis, menulis, dan menulis.
Lalu, apakah ini berarti saya harus bikin kelas menulis? Haruskah saya jadi master guru di bidang literasi TikTok? Haruskah saya bikin workshop berjudul “Menulis untuk Generasi Goyang Pinggul”? Entahlah. Tapi yang jelas, saya bersyukur. Akun ini gede bukan karena skandal. Bukan karena drama. Tapi karena kalian, para pembaca absurd yang masih percaya bahwa kata-kata punya kekuatan.
Terima kasih buat kalian yang udah ngebantu akun ini gede. Semoga tetep eksis. Kecuali kalau tiba-tiba di-banned TikTok, ya udah, kita pasrah. Doain aja saya sehat biar tetep bisa nulis. Nulis buat rakyat. Nulis buat edukasi. Nulis buat… ya, sekadar bikin kalian lupa kalau sedang memasak. Hehehe.
Sekali lagi, terima kasih! Dan ingat, di dunia ini, ada dua hal yang tidak akan pernah rugi untuk dikumpulkan: ilmu dan diskon flash sale jelang lebaran. Jangan pula minta THR ya, saya pun mau juga. (*)
#camanewak