Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Megawati yang akan main sore nanti, sudah terkenal, tak perlu kita kenalkan lagi. Untuk koruptor, baru seru kita kenalkan satu per satu. Kali ini giliran seorang bankir jenius. Direktur utama bank, jabatan yang diimpikan banyak orang. Yok kita mulai mengenal para bedebah, pengkhianat rakyat di negeri ini.
Ada orang-orang yang ditakdirkan menjadi legenda. Mereka menciptakan sejarah, membangun negeri, dan meninggalkan jejak keemasan bagi generasi mendatang. Salah satu dari mereka adalah Yuddy Renaldi.
Lahir di Bogor, Jawa Barat, tahun 1964, beliau adalah putra terbaik bangsa. Sarjana Ekonomi dari Universitas Trisakti, Magister Manajemen dari STIE IPWI. Dua gelar akademis yang menjadi bukti nyata kejeniusannya.
Kariernya? Ah, jangan ditanya! Dari Bank Pembangunan Indonesia hingga Bank Mandiri, lalu ke BNI, akhirnya menakhodai Bank BJB sebagai Direktur Utama. Di tangannya, Bank BJB bukan sekadar bank daerah, tetapi harapan dan mercusuar bagi perekonomian Jawa Barat.
Prestasinya? Bukan main! Beliau berambisi menjadikan Bank BJB sebagai bank kategori BUKU IV. Mendorong UMKM agar bisa bersaing dengan raksasa industri. Keberaniannya? Setara pendekar di medan perang. Kegigihannya? Seperti baja yang ditempa berkali-kali.
Namun, apa daya, surga yang dibangun dengan jerih payah ternyata memiliki pondasi dari pasir hisap.
Ketika semua mata terpukau oleh gemerlap pencapaiannya, KPK datang membawa berita: Yuddy Renaldi diduga melakukan korupsi pengadaan iklan di Bank BJB. Konon, beliau lebih jago memilih agensi iklan daripada memilih jalan hidup yang lurus. Rekanan iklan ditunjuk secara tidak sah, dan hasilnya? Negara merugi Rp222 miliar!
Sungguh cerdas! Begitu jenius sampai bisa menemukan celah-celah aturan yang hanya bisa dipahami oleh para elite bermoral lentur. Ada dana non-budgeter yang katanya ‘disetujui’ untuk memuluskan proyek. Hebat, kan? Begitu inovatif sampai bisa mengubah kas negara menjadi celengan pribadi.
Yang lebih menarik, semua ini dilakukan dengan gaya yang elegan. Tidak ada panik. Tidak ada tanda-tanda stres. Hanya senyum tipis khas pejabat yang merasa tak tersentuh hukum. Entah apa yang ada di pikirannya saat memutuskan bermain-main dengan uang rakyat. Mungkin beliau mengira KPK hanyalah sekumpulan mahasiswa magang yang tidak akan menemukan jejaknya. Atau mungkin dia terlalu sibuk merancang skema ‘iklan gaib’ yang tak hanya mencuci otak masyarakat, tetapi juga mencuci uang negara.
Tapi sayang, tidak ada pesta yang abadi. Uang hasil korupsi bisa membeli banyak hal, tapi tidak bisa membeli waktu untuk menghindari pengadilan. Kini, setelah sekian lama bermain di balik layar, tirai pun dibuka. Yuddy Renaldi, si maestro keuangan, kini berubah menjadi maestro drama pengadilan.
Apakah beliau menyesal? Mungkin. Apakah beliau akan meminta maaf? Tentu, dengan gaya klasik pejabat tertangkap, wajah muram, baju tahanan oranye, dan kalimat sakti, “Saya khilaf.”
Beginilah akhirnya, wak! Seorang bankir yang dulu dielu-elukan kini masuk daftar panjang orang-orang yang pernah merasa dirinya tak tersentuh hukum. Sungguh ironi, dari direktur utama menjadi tersangka utama. Dari penyelamat ekonomi menjadi perampok elegan bersertifikat.
Selamat datang di negeri di mana mereka yang berpendidikan tinggi bukan selalu menjadi teladan, tetapi terkadang hanya menjadi maling dengan jas mahal dan gelar akademis berlapis-lapis. Terima kasih, Pak Yuddy, telah membuktikan satu hal, bahwa kerakusan selalu lebih kuat dari integritas, dan uang selalu lebih menggoda dari moralitas. Semoga menikmati masa depan yang ‘lebih sederhana’ tanpa fasilitas direktur. Selamat beristirahat di balik jeruji, Pak! (*)
#camanewak