Oleh: Dahlan Iskan
HATIPENA.COM – Dia bukan bos. Kalau pun bisa disebut begitu dia itu bos kecil. Kecil sekali. Tapi menghadapi Lebaran seperti ini dia mikir THR. Untuk orang lain. Mikirnya pun sejak habis Lebaran tahun sebelumnya: dengan cara menabung. Tiap hari Rp50.000,-.
Di akhir bulan puasa seperti ini tabungan itu dia cairkan. Dia harus memberi THR kepada 150 orang. Mereka itu selama setahun setia membeli sayur yang dia kelilingkan dari kampung ke kampung.
Cara menabungnya pun unik. Tidak di bank. Tidak di celengan. Tabungannya tidak mendapatkan bunga. Justru harus membayar biaya menabung.
Dia pernah menyesali diri: menabung kok justru membayar. Tiap dia mencairkan tabungan uangnya dipotong Rp300.000,-. Sayang. Maka dia bertekad menabung di rumah. Di kaleng yang dilubangi.
“Setelah enam bulan kaleng itu tetap kosong,” ujarnya terkikih-kikih. “Ternyata menabung itu harus dipaksa,” tambahnya.
Dia pun kembali ke toko tempat cara lamanya menabung. Di toko itulah dia kulakan sembako. Lalu ke pasar kulakan sayur. Sembako dan sayur diangkut dengan sepeda motor. Dikelilingkan ke desa-desa sekitar.
Setiap kali ambil sembako dia menitipkan uang Rp50.000,- ke pemilik toko. Dia catat di buku notes. Si pemilik toko tanda tangan bahwa hari itu dia terima uang Rp50.000,- dari dia.
Buku notes itu berisi 30 baris ke bawah. Satu halaman cukup untuk mencatat tabungan sebulan. Setahun 12 halaman. Buku itu, setelah ditandatangani pemilik toko dia bawa pulang. Disimpan di tas.
Bulan Ramadan kali ini hasil tabungannya Rp 12 juta. Banyak juga. Rata-rata sekitar itu setahun. Sudah lebih 10 tahun kebiasaan itu dia lakukan. Juga dilakukan beberapa wanita pedagang keliling seperti dia.
Tahun ini THR itu dia wujudkan sembako: gula, minyak goreng, mie instan. Tahun lalu berupa alat dapur. Pernah dalam bentuk baju atau kaus, tapi dia kapok. Dianggap lebih jelek daripada baju milik yang diberi THR.
Wanita Disway satu ini awalnya jadi buruh pabrik panci. Di pabrik itu dia bertemu buruh laki-laki yang masa kerjanya lebih lama. Cinlok. Kawin. Orangtuanya awalnya tidak merestui. Dia sendiri anak orang miskin, dapat suami lebih miskin lagi.
Setidaknya hemat tempat kos dekat pabrik. Satu kamar berdua. Di situ pula punya anak. Lalu anak kedua.
Orangtuanya beberapa kali ”memanggil” pasangan ini. Tepatnya: memanggil menantu. Diminta agar ceraikan istri. Dia tidak mau. Dia cinta suami. Si suami hanya tunduk diam.
Wanita Disway ini jatuh sakit: di empedunya ada batu. Dia pun berhenti bekerja. Pulang ke desa. Tinggal dengan orangtua. Suami ikut mertua. Setiap hari ke pabrik naik kendaraan umum. Tinggal suami yang berpenghasilan –kecil.
Di rumah, si wanita Disway mengasuh anak. Tapi ketika anak sudah sekolah dia bengong. Tiap hari. Tersiksa. Biasa kerja.
Di depan rumah orang tuanya itu ada pohon rindang. Di bawah pohon itu, setiap pukul 10.00 beberapa wanita memarkir sepeda. Dagangan mereka sudah habis. Sambil duduk-duduk di bawah pohon mereka menghitung uang hasil jualan.
Setelah beberapa hari melihat adegan hitung uang itu hatinya tergerak: kok kelihatannya enak. Dia pun bertekad untuk menjadi mereka.
Tiap pukul 02.00 dia bangun. Berangkat ke pasar. Naik motor. Kulakan sayur. Lalu ke toko yang ada di dalam pasar itu juga: kulakan sembako.
Dua tahun kemudian dia bisa beli tanah kecil di sebelah rumah orangtua. Dua tahun berikutnya lagi bisa membangun rumah kecil. Dua tahunnya lagi bisa beli mobil kecil. Mobil itu jarang dipakai. Dieman-eman.
Kini dia ke pasar memang tidak naik motor roda dua lagi. Sudah meningkat: roda tiga. Dia sudah beli motor yang ada bak di bagian belakangnya.
Sang suami selalu memuji keuletan istri. Tiap hari bangun pukul 02.00 demi keluarga. Pun di saat hujan.
Pernah si suami merayu: ini kan lagi hujan deras, liburlah jualan. Sang istri justru menjawab: hujan begini kesempatan dapat uang, banyak yang tidak jualan.
Sang suami sangat patuh pada istri. Termasuk dalam hal keuangan. Tidak mau ganggu administrasi keuangan keluarga. Soal uang sepenuhnya di tangan istri.
Sang suami bekerja tetap naik sepeda motor. Mobil baru dipakai kalau pergi bersama keluarga. Terutama bersama mertua.
“Soal uang saya minta dijatah saja. Tiap hari Rp20.000,-. Pokoknya cukup untuk beli bensin ke pabrik pulang-pergi,” katanya.
Kadang jatah uang harian itu menyulitkan. “Suatu saat ban motor kempis. Tidak cukup untuk tambal ban,” katanya.
Sang istri sangat disiplin dalam mengatur uang. Semua anggaran belanja ditetapkan sejak awal. Tidak boleh dilanggar: uang harian suami Rp20.000,-; uang belanja ibunya Rp20.000,-; uang saku anaknya sekolah @Rp2000,- sampai Rp4000,-masih harus nabung untuk belikan mereka seragam. Tinggal anaknya yang ke sekolah belum pakai seragam.
Lalu jatah nabung untuk THR pelanggan Rp50.000,-.
Sejak kapan jatah untuk ibunda yang Rp20.000,- itu?
“Sudah lama. Lebih lima tahun”.
“Tidak pernah naik?”
“Tidak”.
“Tidak pernah?”
“Oh iya, mestinya naik ya…,” katanya sambil jarinya menutup mulutnya. Wanita Disway ini namanya Solehah.
Saya ingin orang seperti wanita Disway ini yang jadi CEO Danantara. (*)
Selasa 11-03-2025