Muhamad Bisri Mustofa
Dosen UIN Raden Intan Lampung dan Peneliti Pusat Studi Sejarah Islam Lampung (PPSIL)
HATIPENA.COM – Pemerintahan yang efektif bukan hanya soal merancang kebijakan di atas kertas, tetapi juga memastikan implementasi yang berjalan dengan baik di daerah. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, program retret kepala daerah menjadi salah satu strategi baru dalam upaya menyelaraskan kebijakan pusat dengan realitas daerah. Retret ini diklaim sebagai forum koordinasi untuk memperkuat pemahaman kepala daerah terhadap visi pembangunan nasional.
Namun, di tengah eksekusi kebijakan ini, resistensi publik tak bisa dihindari. Demonstrasi mahasiswa yang marak belakangan ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak hanya dinilai dari efektivitas administratifnya, tetapi juga dari cara ia dikomunikasikan ke masyarakat. Retret kepala daerah bisa menjadi strategi efektif dalam membangun koordinasi, tetapi jika pendekatannya bersifat top-down, kebijakan ini justru bisa memperbesar jurang antara pemerintah dan rakyatnya.
Retret Kepala Daerah dan Linierisasi Kebijakan
Dalam dunia komunikasi politik, ada istilah linierisasi kebijakan, yaitu upaya menyelaraskan kebijakan pemerintah pusat dengan pelaksanaannya di daerah. Teorinya sederhana: pemerintah pusat menetapkan arah kebijakan, daerah melaksanakan. Tetapi praktiknya, ada banyak “noise” dalam komunikasi, mulai dari perbedaan kepentingan politik, kondisi sosial-ekonomi daerah, hingga keterbatasan sumber daya.
Retret kepala daerah hadir untuk mereduksi “noise” ini. Dengan mengumpulkan para kepala daerah dalam sebuah forum yang lebih santai dan non-formal, pemerintah pusat berharap bisa menyampaikan arah kebijakan dengan lebih jelas, lebih konkret. Dalam bahasa akademik, ini mirip dengan konsep Teori Komunikasi Linear (Shannon & Weaver, 1949), di mana pesan dari pemerintah pusat diteruskan ke daerah dengan harapan dapat dieksekusi tanpa distorsi.
Namun, apakah komunikasi linear seperti ini cukup? Dalam politik, komunikasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga soal membangun dialog. Jika retret hanya menjadi ruang bagi pemerintah pusat untuk memberi instruksi satu arah, maka efektivitasnya patut dipertanyakan.
Komunikasi Dialogis dan Resistensi Mahasiswa
Dalam Teori Komunikasi Dialogis Paulo Freire (1970), komunikasi yang ideal adalah komunikasi dua arah, di mana semua pihak saling mendengar dan merespons. Jika retret kepala daerah ingin sukses, ia harus lebih dari sekadar sesi instruksi. Kepala daerah perlu diberi ruang untuk menyampaikan persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing, termasuk hambatan sosial dan politik yang bisa menghambat implementasi kebijakan pusat.
Tantangan terbesar dari kebijakan top-down adalah resistensi publik. Demonstrasi mahasiswa yang belakangan ini terjadi, misalnya, merupakan bentuk konstruksi sosial atas kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Dalam Teori Konstruksi Sosial Realitas (Berger & Luckmann, 1966), dijelaskan bahwa realitas sosial tidak bersifat objektif, melainkan dibangun melalui interaksi dan wacana yang berkembang di masyarakat.
Ketika mahasiswa turun ke jalan dengan tagar #IndonesiaGelap, mereka tidak sekadar menolak kebijakan tertentu, tetapi juga mengekspresikan kekecewaan terhadap cara pemerintah berkomunikasi dengan rakyat. Mahasiswa sering melihat kebijakan pemerintah melalui perspektif yang berbeda dibandingkan dengan pejabat pemerintahan. Jika komunikasi antara pemerintah dan masyarakat tidak berjalan dengan baik, maka resistensi akan semakin kuat.
Mengurangi Ketidakpastian, Membangun Kepercayaan
Salah satu tantangan bagi kepala daerah, terutama yang baru dilantik, adalah ketidakpastian dalam memahami bagaimana kebijakan pusat harus diterapkan di daerah mereka. Dalam Teori Reduksi Ketidakpastian (Berger & Calabrese, 1987), dijelaskan bahwa individu dalam situasi baru cenderung mencari informasi untuk mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan pemahaman mereka terhadap lingkungan.
Retret kepala daerah, jika dirancang dengan baik, bisa menjadi mekanisme yang efektif dalam mengurangi ketidakpastian ini. Kepala daerah dapat langsung berdiskusi dengan pejabat pusat, mendapatkan informasi langsung, serta bertanya tentang detail teknis implementasi kebijakan. Namun, jika retret ini hanya menjadi forum seremonial, tanpa ruang untuk diskusi yang mendalam, maka ia hanya akan menjadi ajang formalitas tanpa dampak nyata.
Lebih jauh lagi, komunikasi yang buruk dalam kebijakan publik dapat berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam Teori Komitmen dan Kepercayaan dalam Hubungan Organisasi (Morgan & Hunt, 1994), dijelaskan bahwa keberhasilan suatu kebijakan sangat bergantung pada tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat.
Dalam konteks pemerintahan, kepercayaan ini harus dibangun melalui transparansi, akuntabilitas, serta komunikasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat. Jika pemerintah ingin retret kepala daerah benar-benar berkontribusi bagi efektivitas kebijakan, mereka juga harus membangun komunikasi yang lebih luas dengan publik.
Belajar dari Sejarah, Belajar dari Rakyat
Dalam sejarah Indonesia, hubungan pusat dan daerah selalu menjadi isu yang kompleks. Pada masa Orde Baru, kebijakan sentralistik membuat kepala daerah lebih seperti perpanjangan tangan pusat ketimbang pemimpin yang memiliki otonomi dalam mengelola daerahnya. Reformasi 1998 membawa desentralisasi, tetapi koordinasi antara pusat dan daerah tetap menjadi tantangan.
Belajar dari sejarah, komunikasi yang efektif antara pusat dan daerah tidak hanya ditentukan oleh pertemuan resmi seperti retret, tetapi juga oleh kepekaan pemimpin terhadap realitas sosial. Dalam politik, keberhasilan kebijakan bukan hanya soal eksekusi administratif, tetapi juga soal bagaimana rakyat merasa menjadi bagian dari kebijakan itu sendiri.
Retret kepala daerah adalah langkah yang bisa membantu penyelarasan kebijakan, tetapi ia tidak bisa berdiri sendiri. Pemerintah perlu lebih aktif dalam membangun komunikasi dengan masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang selama ini bersuara kritis, seperti mahasiswa, akademisi, dan aktivis sosial.
Mahasiswa turun ke jalan bukan karena mereka ingin mencari keributan, tetapi karena mereka merasa bahwa suara mereka tidak didengar. Jika pemerintah ingin mengurangi resistensi sosial, mereka perlu mendekati mahasiswa bukan sebagai oposisi, tetapi sebagai mitra dalam membangun bangsa.
Retret dan Masa Depan Kebijakan Publik
Program retret kepala daerah yang digagas Presiden Prabowo Subianto adalah strategi yang menarik dalam menguatkan koordinasi antara pusat dan daerah. Namun, seperti halnya kebijakan lainnya, ia hanya akan efektif jika disertai dengan komunikasi yang baik, bukan hanya di antara pejabat, tetapi juga antara pemerintah dan rakyatnya.
Keberhasilan linierisasi program pemerintah tidak hanya bergantung pada komunikasi instruktif dari pusat ke daerah, tetapi juga pada komunikasi yang bersifat dialogis dan partisipatif. Resistensi publik mencerminkan adanya konstruksi sosial yang berbeda terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah perlu membangun komunikasi yang lebih inklusif agar kebijakan yang diambil dapat diterima secara lebih luas oleh masyarakat.
Jika komunikasi tetap top-down, jika pemerintah terus memandang mahasiswa sebagai pengganggu, dan jika kebijakan tetap dibuat tanpa mendengar suara rakyat, maka tidak peduli seberapa sering retret kepala daerah diadakan, resistensi sosial akan tetap menjadi bayang-bayang bagi setiap kebijakan yang dijalankan.
Pemerintah perlu memahami bahwa keberhasilan kebijakan tidak hanya diukur dari seberapa lancar instruksi diberikan, tetapi juga dari seberapa kuat rakyat merasa menjadi bagian dari kebijakan tersebut. Sebab dalam demokrasi, pemerintah yang kuat bukanlah yang paling keras suaranya, tetapi yang paling mau mendengar.(*)