Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Tinja Bisa, Kenapa Plastik Tidak?

March 16, 2025 09:16
IMG_20250316_091433

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Manusia telah lama menemukan cara membuang yang tak kita inginkan. Toilet.

Toilet adalah bukti paling nyata—sistem yang rapi, efisien, dan tak terbantahkan dalam menuntaskan “sampah” harian kita.

Tak ada rumah tanpa toilet, karena tanpanya, pekarangan dan lingkungan akan menjadi kumuh oleh limbah yang mestinya terbuang.

Lalu, kenapa untuk tinja dan urusan mandi bisa diselesaikan oleh toilet, sementara urusan plastik jadi masalah berlarut-larut?

Jika toilet mampu menuntaskan perkara hajat, mestinya soal plastik hal yang mudah, mestinya pula plastik tidak jadi masalah? Dengan membuat toilet baru yang khusus untuk sampah dapur dan dedaunan, persoalan plastik menjadi masalah sendiri yang tak sulit terpecahkan. Plastik akan menjadi penghuni rumah industri, tidak lagi ke TPA.

Jika dulu ada tebe, mengapa kita tak bisa membangun tebe baru—toilet modern khusus untuk sampah harian yang dihasilkan dari dapur dan pekarangan kita?

Bayangkan, setiap rumah memiliki toilet sampahnya sendiri. Dedauan, sisa makanan, dan limbah organik masuk ke dalamnya, terurai dengan sendirinya. Tak ada bau, tak ada tumpukan busuk, hanya siklus alami yang berjalan sebagaimana mestinya.

Maka yang tersisa hanyalah plastik dan bahan yang benar-benar tak bisa diurai—itulah yang seharusnya masuk ke rumah-rumah industri daur ulang, bukan ke tempat pembuangan akhir.

Inilah yang menjadi paradoks? Kita sudah tahu ini solusi, tapi belum banyak yang ngeh, masih membungkus-bungkus sampah ditaruh di depan rumah lalu diangkut ke TPA, gak berpikir apakah sampah yang dibungkus itu jadi masalah di sana (TPA).

Gubernur Bali Wayan Koster pada periode pertama sudah menerbitkan Pergub No. 47 Tahun 2019, menegaskan bahwa sampah harus selesai di sumbernya. Ini pergub yang sangat bagus. Rumah harus mengolah sampahnya sendiri, desa harus mengurus limbahnya sendiri, tanpa mencemari yang lain. Sangat logis, bukan? Sebelumnya juga ada Pergub No. 97 tahun 2018 tentang timbulan sampah plastik.

Lalu, kenapa masih ada gunungan sampah? Kenapa solusi yang sangat logis itu, belum menjadi gerakan bersama?

Sampai sekarang masih ada truk pengangkut sampah yang membiarkan sampah bercampur, sampah yang telah dipilah dengan teliti sampai di atas truk, bercampur entah dengan apa.

Kenapa kita masih berdebat apakah ini solusi atau bukan sementara solusinya sudah ada?

Jika tinja yang menjijikkan saja bisa dikelola dengan baik, seharusnya sampah dapur yang lebih ringan bisa lebih mudah diurus.

Jika tak punya pekarangan untuk membangun tebe, biarlah tiap banjar, tiap desa, tiap lingkungan memiliki satu toilet sampah bersama.

Dengan begitu, tak ada rumah yang mencemari rumah lain, tak ada desa yang membebankan sampahnya kepada desa tetangga.

Tapi begitulah paradoks dunia. Kita tahu solusinya, tapi masih saja mempertanyakan kebenarannya. Kita tahu caranya, tapi masih juga memilih yang lebih rumit.

Ada apa ini? Jangan pada sampah juga cari rekengan. Selesailanlah, karena bersih kebutuhan kita semua. Janganlah kita menginginkan lingkungan bersih, tapi tetap membuang sampah sembarangan mengotori tetangga.

Sampai kapan kita terus hidup dalam paradoks ini? Saatnya bergotongroyong menjadikan Bali bersih dan suci. (*)

Denpasar, 16 Maret 2025