Oleh: Drs. Mochamad Taufik, M.Pd (Guru SD Al Hikmah Surabaya)
#menulis30cerpenromadhon1446H Cerpen ke-29
HATIPENA.COM.- Angin sore berembus lembut di pesisir Singapura. Seorang pemuda duduk di serambi rumah sederhana, tenggelam dalam lembaran kitab kuning yang tersusun rapi di depannya. Dialah Hassan bin Ahmad bin Muhammad bin Hassan Al-Qahiry, atau yang kelak lebih dikenal sebagai A. Hassan, seorang pembaru Islam yang pemikirannya akan mengguncang Nusantara.
Di bawah remang-remang cahaya lampu minyak, Hassan merenungi perdebatan yang baru saja ia dengar di sebuah majelis ilmu. Ia sadar, banyak pemahaman keislaman yang masih bercampur dengan budaya dan takhayul yang jauh dari ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Tekadnya pun semakin kuat: Islam harus kembali kepada sumbernya!
Dari Singapura ke Bandung: Perjalanan Ilmu dan Dakwah
Hassan muda meninggalkan Singapura dan menjejakkan kaki di Bandung, kota yang kelak menjadi saksi perjalanan intelektual dan perjuangannya. Ia bergabung dengan Persatuan Islam (Persis), sebuah gerakan Islam yang saat itu masih mencari bentuk. Dengan ketajaman pemikiran dan keberaniannya, A. Hassan segera menjadi tokoh utama dalam organisasi ini.
Ia tak hanya mengajar, tetapi juga menulis. Buku-buku dan risalahnya menyebar luas, menantang pemikiran lama yang dianggap bertentangan dengan Islam yang murni. Ia membuka forum diskusi, berdebat dengan ulama-ulama besar, bahkan dengan Bung Karno, yang kala itu masih dalam pencarian ideologi terbaik untuk bangsa.
Di suatu siang yang panas, sebuah surat datang dari Sukarno yang saat itu sedang diasingkan di Ende. “Tuan Hassan,” tulis Bung Karno, “bagaimana pendapat tuan tentang nasionalisme dan Islam?”
A. Hassan tersenyum tipis. Ia tahu, ini bukan sekadar pertanyaan, melainkan sebuah tantangan intelektual. Maka ia pun menuliskan jawabannya, menegaskan bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sistem kehidupan yang sempurna. Bagi A. Hassan, Islam bukan sekadar keyakinan pribadi, tetapi harus menjadi fondasi dalam berbangsa dan bernegara.
Bangil: Puncak Perjuangan
Setelah Bandung, jejak dakwah A. Hassan berlanjut ke Bangil. Kota kecil itu menjadi pusat pergerakan dan pemikiran Islam modern. Pesantren Persatuan Islam di Bangil menjadi tempat ia mendidik generasi muda dengan pemahaman Islam yang kaffah.
Namun, perjuangannya tidak mudah. Di satu sisi, penjajah masih mencengkeram negeri ini, sementara di sisi lain, ada perlawanan dari kalangan yang merasa ajaran Islam tradisional mereka terganggu oleh pemikiran A. Hassan yang tajam dan kritis.
Suatu malam, seorang santri bertanya, “Tuan Guru, mengapa kita harus terus berjuang, padahal mereka yang di luar sana menolak pemikiran kita?”
A. Hassan menatap langit. “Karena kebenaran harus diperjuangkan, meskipun kita sendirian. Bukankah Rasulullah juga menghadapi tantangan yang sama?”
Islam dan Kemerdekaan
Di tengah pergolakan kemerdekaan, A. Hassan berdialog dengan Haji Agus Salim dan Mohammad Natsir. Mereka membahas posisi Islam dalam negara yang akan segera merdeka. Bagi A. Hassan, syariah Islam bukan sekadar aturan pribadi, tetapi harus menjadi sistem yang mengatur kehidupan masyarakat.
Namun, realitas politik berkata lain. Setelah Indonesia merdeka, gagasan negara Islam tidak terwujud sebagaimana yang diharapkan. Namun, A. Hassan tidak menyerah. Ia terus menulis, mengajar, dan berdiskusi, memastikan bahwa pemikiran Islam yang murni tetap hidup di tengah umat.
Di ujung usianya, A. Hassan tetap teguh pada keyakinannya: Islam harus dipahami dan diamalkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, bukan sekadar tradisi atau kepentingan politik.
Ia memang telah tiada, tetapi pemikirannya tetap hidup. Di masjid-masjid, di pesantren-pesantren, dan di hati mereka yang mencari kebenaran.
Pesan untuk Generasi Alpha: Berkaca pada Perjuangan A. Hassan
Wahai Generasi Alpha, kalian adalah generasi yang hidup di era digital, di mana ilmu begitu mudah diakses dengan sekali klik. Tapi apakah kalian sudah benar-benar mengenal para tokoh yang berjuang demi Islam dan bangsa ini?
A. Hassan adalah bukti bahwa ilmu dan keberanian bisa mengubah dunia. Ia tidak sekadar menghafal, tetapi berani mempertanyakan dan mencari kebenaran yang sejati. Ia tidak hanya diam, tetapi bergerak dan berjuang.
Di zaman kalian, tantangan mungkin berbeda—bukan penjajahan fisik, tetapi penjajahan pemikiran. Islamofobia, hedonisme, budaya instan, dan pergeseran nilai moral bisa membuat kalian kehilangan jati diri sebagai Muslim.
Maka, belajarlah dari A. Hassan!
Bacalah Al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman yang benar.
Jadilah Muslim yang berpikir kritis dan tidak mudah terpengaruh propaganda.
Perjuangkan Islam dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam ilmu, moral, maupun tindakan.
A. Hassan telah menyalakan obor keilmuan dan perjuangan. Kini, tugas kalianlah untuk melanjutkan cahayanya! (*)
(Cerpen ini adalah refleksi dari perjuangan A. Hassan, seorang pembaru Islam yang pemikirannya tetap relevan hingga kini. Semoga kisahnya menginspirasi Generasi Alpha untuk terus menggali Islam yang sejati dan menerapkannya dalam kehidupan.)