Bagindo Muhammad Ishak Fahmi
Kaba “Catuih Ambuih”
HATIPENA.COM – Sering kali, kita terjebak dalam sesat berpikir saat berargumen, terutama dalam dunia pengajaran dan kepemimpinan. Contoh paling umum adalah logika biner—jika bukan A, pasti Z. Jika tidak boleh memaksa anak, berarti boleh memanjakan. Jika tidak bisa menghafal, berarti tidak bisa belajar. Pola pikir semacam ini mencerminkan keterbatasan dalam berpikir yang hanya berputar pada level hafalan dan tidak berkembang ke tingkat yang lebih tinggi.
Model berpikir yang berjenjang, seperti yang diadaptasi dari Taksonomi Bloom, membantu seseorang memahami persoalan dengan lebih mendalam dan sistematis. Dengan menerapkan enam level berpikir—dari menghafal hingga menciptakan—masalah kompleks seperti kepemimpinan dan pembagian tugas dalam pekerjaan dapat dianalisis dan diselesaikan dengan efektif.
Mari kita bahas bagaimana model berpikir ini dapat diterapkan dalam memahami fungsi dan tugas kepemimpinan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pekerjaan.
- Mengingat (Hafalan) – “Pokoknya hafalin aja”
Pada level ini, seseorang hanya mengetahui definisi dasar tanpa memahami konsep lebih lanjut.
✦ Dalam kepemimpinan: Seorang manajer hanya menghafal struktur organisasi tanpa memahami bagaimana peran tiap individu berkontribusi terhadap tujuan bersama.
✦ Dampaknya: Ketika terjadi masalah di tim, dia kebingungan siapa yang harus bertanggung jawab karena pemahamannya masih sebatas hafalan.
✦ Contoh:
Seorang pemimpin proyek hanya menghafal bahwa “seorang pemimpin harus memberikan arahan,” tetapi tidak memahami bagaimana cara memberikan arahan yang efektif.
Menurut John C. Maxwell, “A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way.” Menghafal teori kepemimpinan saja tidak cukup tanpa penerapan yang nyata.
- Memahami – “Banyak yang nggak ngerti”
Pada tahap ini, seseorang mulai memahami hubungan antara teori dan praktik.
✦ Dalam kepemimpinan: Seorang pemimpin tidak hanya tahu struktur organisasi, tetapi juga memahami bagaimana tugas masing-masing divisi saling berhubungan untuk mencapai tujuan perusahaan.
✦ Dampaknya: Pemimpin dapat melihat apakah ada tumpang tindih peran dalam tim dan mulai mengatasi ketidakefektifan kerja.
✦ Contoh:
Seorang supervisor memahami bahwa tugasnya bukan hanya memberi instruksi, tetapi juga mengelola komunikasi antar tim agar tidak terjadi konflik akibat tugas yang saling bertabrakan.
- Menerapkan – “Bagaimana cara menjalankan peran dengan efektif?”
Di level ini, seseorang dapat menggunakan pemahamannya untuk menyelesaikan masalah nyata.
✦ Dalam kepemimpinan: Pemimpin mampu menerapkan strategi manajemen tugas agar tidak ada anggota tim yang bekerja di luar perannya.
✦ Dampaknya: Struktur kerja menjadi lebih rapi dan setiap orang memahami perannya masing-masing.
✦ Contoh:
Jika dalam sebuah tim proyek terdapat kebingungan tentang siapa yang bertanggung jawab atas komunikasi dengan klien, seorang pemimpin yang baik akan menerapkan sistem pembagian tugas yang jelas berdasarkan kompetensi dan peran tim.
Peter Drucker, seorang pakar manajemen, mengatakan bahwa “Efficiency is doing things right; effectiveness is doing the right things.” Kepemimpinan yang efektif berarti menempatkan orang pada posisi yang benar sesuai keahliannya.
- Menganalisis – “Apakah ada yang perlu diperbaiki?”
Pada tahap ini, seseorang mampu membedah masalah dan mencari akar penyebabnya.
✦ Dalam kepemimpinan: Pemimpin tidak hanya menerapkan sistem, tetapi juga mengevaluasi apakah ada kesalahan dalam pembagian kerja yang menghambat produktivitas.
✦ Dampaknya: Pemimpin dapat melihat pola masalah dalam organisasi, seperti tumpang tindih tugas atau kurangnya koordinasi antar divisi.
✦ Contoh:
Seorang pemimpin melihat bahwa beberapa karyawan mengerjakan tugas yang sama karena kurangnya komunikasi. Dia menganalisis penyebabnya, misalnya kurangnya rapat koordinasi atau tidak adanya sistem kerja yang jelas.
- Mengevaluasi – “Apa yang bisa diperbaiki dan ditingkatkan?”
Pada tahap ini, seseorang dapat menilai apakah sistem yang ada sudah optimal atau perlu perubahan.
✦ Dalam kepemimpinan: Pemimpin tidak hanya menganalisis masalah, tetapi juga mengevaluasi efektivitas kebijakan yang telah diterapkan.
✦ Dampaknya: Perubahan yang dilakukan lebih strategis karena berdasarkan data dan pengalaman nyata.
✦ Contoh:
Seorang manajer mengevaluasi bahwa terlalu banyak level hierarki dalam perusahaan yang menyebabkan lambatnya pengambilan keputusan. Dia kemudian mengusulkan restrukturisasi agar komunikasi lebih efektif.
Menurut Jim Collins, “Great vision without great people is irrelevant.” Evaluasi dalam kepemimpinan harus berfokus pada optimalisasi peran manusia dalam organisasi.
- Menciptakan – “Membuat sistem baru yang lebih efektif”
Ini adalah tahap tertinggi di mana seseorang mampu menciptakan solusi baru berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.
✦ Dalam kepemimpinan: Pemimpin tidak hanya memperbaiki sistem yang ada, tetapi juga merancang model kepemimpinan yang lebih adaptif dan inovatif.
✦ Dampaknya: Organisasi berkembang dengan pola kerja yang lebih efisien dan efektif.
✦ Contoh:
Seorang CEO merancang sistem kerja berbasis teknologi digital untuk memastikan semua tugas dapat terpantau secara real-time, sehingga mengurangi kemungkinan tugas yang tumpang tindih.
Elon Musk pernah berkata, “I think it is possible for ordinary people to choose to be extraordinary.” Dalam kepemimpinan, inovasi adalah kunci agar organisasi tetap berkembang dan tidak stagnan.
Berpikir Tingkat Tinggi untuk Kepemimpinan yang Lebih Baik
Ketika seseorang hanya berada di level hafalan dan pemahaman dasar, maka pola kepemimpinan cenderung reaktif dan tidak strategis. Namun, dengan melewati semua level berpikir—dari hafalan, pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi, hingga penciptaan—maka kepemimpinan menjadi lebih sistematis dan inovatif.
Dalam dunia kerja, memahami fungsi dan tugas dalam kepemimpinan bukan hanya soal menghafal struktur organisasi, tetapi juga bagaimana menerapkannya, menganalisis kelemahannya, mengevaluasi efektivitasnya, dan akhirnya menciptakan sistem kerja yang lebih efisien.
Jika generasi muda bisa berpikir pada level tertinggi ini, maka mereka tidak hanya mengulang sejarah seperti Sumpah Pemuda 1928, tetapi bisa menciptakan “Sumpah Pemuda 4.0”, yaitu komitmen untuk menjadi pemimpin yang adaptif di era digital.
“Berpikir bukan sekadar mengetahui sesuatu, tetapi bagaimana menggunakannya untuk menciptakan perubahan.” – Edward de Bono
Padang, 2025.