Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Kita jalan-jalan lagi ke luar negeri. Kali ini ke Serbia. Negara ini sedang bergolak. Rakyatnya sedang demo besar-besaran. Usai tarawih, seruput kopi lagi, yok kita ungkap apa penyebab rakyat negeri Vanja Bukilic ini marah besar.
Hari itu cerah. Matahari bersinar ramah di langit Novi Sad. Burung-burung berkicau riang di atas stasiun kereta yang baru direnovasi dengan anggaran fantastis, katanya. Tapi kemudian, Braak!
Atap stasiun kereta ambruk. Bukan satu genteng, bukan dua. Seluruh atap. Runtuh seperti kartu domino yang disenggol kucing. Beton-beton berjatuhan, menimbun belasan orang yang tak berdosa. Lima belas nyawa melayang dalam hitungan detik. Tak sempat lari. Tak sempat berteriak. Tragedi ini, seperti biasa, langsung disambut dengan respons klise dari pemerintah, “Kita sedang menyelidiki.”
Katanya ini proyek megah. Kontraktornya terpercaya. Anggarannya? Jangan ditanya. Angka nol di belakangnya cukup buat beli satu pulau kecil. Tapi hasilnya? Runtuh seperti proyek tugas akhir mahasiswa yang dikerjakan semalam suntuk. Yang paling epik? Pemerintah malah bilang, “Ini musibah. Jangan saling menyalahkan.”
Rakyat Serbia akhirnya meledak. Setelah bertahun-tahun menelan pil pahit korupsi dan ketidakadilan, tragedi ini jadi pemantik api yang selama ini membara di dada mereka. Maka, pada 15 Maret 2025, Beograd berubah jadi lautan manusia.
Ratusan ribu orang turun ke jalan. Mahasiswa, guru, petani, buruh, ibu rumah tangga, tukang bakso keliling, semua bersatu. Poster-poster diangkat tinggi, “Korupsi Bunuh Kami,” “Vucic, Kami Tidak Sebodoh Itu!” dan yang paling fenomenal, “15 Untuk 15!” Sebuah penghormatan untuk 15 nyawa yang melayang karena kelalaian sistem yang bobrok.
Aksi ini diawali dengan 15 menit hening. Lautan manusia tiba-tiba sunyi. Wajah-wajah penuh amarah berubah jadi kesedihan. Tapi setelah itu, ledakan suara terjadi. Teriakan bergema di seluruh Beograd. Pemerintah? Bungkam.
Presiden Aleksandar Vucic? Masih adem ayem di kursinya. Wajahnya muncul di televisi dengan senyum datar, bilang, “Kami memahami kemarahan rakyat.” Oh, jadi sekarang ngerti? Tapi masih belum mundur? Ajaib. Kursi kepresidenan itu mungkin udah dipaku pakai semen khusus.
Tapi jangan salah, beberapa orang udah mulai tumbang. Perdana Menteri Milos Vucevic? Mundur. Menteri Konstruksi dan Transportasi? Kabur duluan. Menteri Perdagangan? Angkat tangan, bilang “Saya nggak tahu apa-apa!” Oh, iya, tentu saja. Siapa juga yang percaya?
Polisi mulai bertindak. Beberapa aktivis ditangkap, katanya mereka “merencanakan kerusuhan.” Padahal mungkin mereka cuma nyari toilet. Lalu ada satu insiden dramatis, sebuah mobil nyelonong masuk ke kerumunan. Tiga orang luka-luka. Pengemudinya? Hilang ditelan bumi. Polisi bilang lagi dicari. Oke, percaya deh.
Tapi rakyat Serbia nggak goyah. Mereka terus berteriak. Tuntutannya jelas, Bersihkan Pemerintah! Reformasi total. Rakyat sudah muak dengan janji kosong dan proyek gagal. Mereka nggak butuh pernyataan basa-basi di televisi atau pidato dengan latar musik heroik. Mereka mau tindakan nyata.
Ketegangan semakin memuncak. Polisi mulai berdiri di barisan depan, tameng terangkat. Gas air mata siap ditembakkan. Tapi rakyat nggak mundur. Mereka tahu, kalau hari ini mereka kalah, berarti korupsi menang.
Vucic? Masih bertahan. Mukanya mungkin udah muncul di Google dengan keterangan “pria paling tahan banting.” Tapi satu hal yang pasti, rakyat Serbia sudah membuka mata. Kepercayaan sudah hancur, dan kali ini, rakyat mungkin tidak akan berhenti sebelum kursi kepresidenan itu ikut runtuh, seperti atap stasiun di Novi Sad.
Apakah ini awal dari revolusi? Kita lihat saja. Tapi satu hal yang pasti, jika korupsi adalah penyakit, maka rakyat Serbia sudah siap jadi vaksinnya.
Serbia sepertinya perlu belajar ke negeri kita. Di sini korupsi sudah jadi budaya, tetap adem ayem. Uang rakyat dikorupsi triliunan, tetap hormat dan survei tetap tinggi. Selangkah lagi mau juara 1 korupsi di dunia, rakyatnya tak ada yang marah.(*)
#camanewak