Penulis: Ririe Aiko
#30Harimenulispuisiesai
Puisiesai17
HATIPENA.COM – Puisi Esai ini didramatisasi dari kisah para orangtua yang ditelantarkan anak-anaknya di Panti Jompo – (1)
Di sudut ruangan beraroma lapuk,
seorang nenek duduk di kursi kayu tua.
Tangannya menggenggam selembar sajadah,
yang menyimpan sejuta kenangan indah.
Dulu, sajadah itu menjadi saksi
Yang menyaksikan air mata doa menetes,
di setiap sujud seorang ibu,
Ia tak henti menangis, memohon dan mengemis
Bukan untuk dirinya,
tapi untuk kemuliaan anak-anaknya.
—000—
Hari ini Idul Fitri, tapi rumah itu terlalu sunyi.
Tak ada suara ketukan pintu,
tak ada cucu berlari memeluknya,
tak ada suara takbir dari mulut anak-anaknya.
Ia melipat rindu dalam doa,
seperti selembar surat yang tak pernah terkirim.
“Tuhan, apakah aku masih ibu mereka?”
Bisiknya, begitu lirih,
hanya angin yang mendengarkan.
Ia pernah menimang anak-anaknya,
pernah mendongeng di tengah malam,
pernah mengajari mereka mengeja cinta.
Kini, namanya tak lagi disebut,
Suaranya tak pernah lagi di sambut,
Anak-anak terlalu sibuk membangun keluarga, hingga mereka lupa terlahir darimana.
Ibu kini hanya menjadi nenek tua,
bagian dari panti lansia.
“Bu, ini ketupat dan opor ayam,”
seorang perawat meletakkan piring di atas meja.
Nenek tersenyum, tapi senyumnya retak,
seperti cermin tua yang kehilangan bayangan.
Dulu, tangannya gemetar bukan karena usia,
tapi karena bahagia menyuapi anak-anaknya.
Sekarang, gemetar itu berbeda,
bukan lagi karena cinta,
tapi karena kesepian yang tak berkesudahan.
Ketupat itu terasa hambar,
bukan karena kurang garam,
tapi karena tak ada suara tawa di sekelilingnya.
Dulu, rumahnya berhiaskan pelita,
takbir mengalir di sela tawa dan doa.
Sekarang, hanya ruangan sepi tanpa suara keluarga.
Ia ingin pulang, tapi ke mana?
Alamat yang dulu rumahnya,
kini bukan lagi tempatnya kembali.
Tak ada yang mau menyambutnya.
Semua anak saling melempar tanggung jawab.
Enggan hidup bersama nenek tua yang menyusahkan.
Satu orang ibu sanggup mengurus sepuluh orang anak, tapi sepuluh orang anak, belum tentu sanggup mengurus satu orang ibu.
—000—
Di sudut lain panti, seorang lelaki tua berbisik,
suara parau menyanyikan takbir,
lirih, bergetar seperti sumbu lilin yang hampir padam.
Ia pernah menjadi seorang ayah yang gagah,
pernah bekerja siang malam untuk anak-anaknya,
pernah mengangkat mereka di pundaknya,
pernah percaya bahwa kasih sayang tak mungkin dilupakan.
Tapi kini, rumahnya hanya selembar kasur tipis,
keluarganya hanya nomor telepon yang tak pernah berdering.
Di matanya yang sembab, ada pertanyaan yang sama:
“Tuhan, apakah aku masih ayah mereka?”
Mereka berbicara dalam bahasa sunyi,
saling memahami tanpa kata-kata.
Mereka tahu, di luar sana,
orang-orang berkumpul,
memeluk ayah dan ibu,
sementara di sini,
mereka hanya memeluk kerinduan.
—-000—
Nenek menutup matanya,
bukan karena ingin tidur,
tapi karena dalam gelap,
ia bisa membayangkan suara anaknya,
memanggilnya sekali lagi:
“Ibu.”
Dan Panti itu tetap sunyi,
menyimpan seribu luka,
yang tak pernah diceritakan oleh para orangtua,
Yang perlahan mati dalam kesepian.
Catatan:
(1)https://jurnalmataraman.com/ditelantarkan-anak-dan-keluarganya-puluhan-lansia-berakhir-di-panti-jompo-2/