Bagindo Muhammad Ishak Fahmi
Ciloteh “Catuih Ambuih”
HATIPENA.COM – Di tengah hutan yang dulu gagah, seekor harimau duduk lesu di atas tanah yang mulai kehilangan kesuburannya. Tubuhnya lusuh, matanya kosong, dan cakarnya yang pernah tajam kini tumpul tak berguna. Dulu, ia adalah penguasa yang dihormati. Tapi hari ini, ia hanyalah bayangan dari kejayaannya sendiri.
Di sekelilingnya, tikus-tikus berkeliaran dengan pongah. Mereka menari-nari di antara akar pohon yang rapuh, menggerogoti setiap sudut hutan yang dulunya kokoh. Mereka mencuri makanan, membagi hasil rampasan, dan tertawa terbahak-bahak tanpa rasa takut.
“Kita yang kecil, kita yang tak dianggap, tapi lihatlah sekarang!” seru seekor tikus gemuk, naik ke atas batu tempat harimau dulu biasa mengaum. “Sang raja kini hanya bisa menunduk, tak lebih dari patung tua yang usang!”
Para tikus lainnya bersorak. Ada yang mencabut bulu ekor harimau, ada yang menggigit sisa daging buruannya, dan ada yang hanya duduk sambil tertawa menikmati kejatuhan sang pemimpin.
Di bawah sebuah pohon besar, para filsuf menyaksikan tragedi ini. Mereka duduk mengelilingi api unggun kecil, berdiskusi dengan lirih namun tajam.
Nietzsche ,menggeleng pelan
“Beginilah nasib mereka yang kehilangan kehendak untuk berkuasa. Harimau ini telah menyerah pada ketakutannya sendiri. Ia tidak lagi memiliki kemauan untuk bangkit, sehingga ia pun pantas ditertawakan oleh para pengerat yang dulu hanya hidup di bayangannya.”
Machiavelli tertawa sinis
“Inilah hasil dari pemimpin yang terlalu percaya diri dan lupa menjaga kekuasaannya. Harimau ini membiarkan tikus-tikus berkembang biak, menganggap mereka remeh, dan kini lihatlah! Mereka yang dahulu bersembunyi di kegelapan kini berdiri di atas tahtanya. Kekuasaan bukan soal kekuatan, tetapi soal menjaga dominasi dengan cerdas!”
Sartre ,menatap harimau dengan iba
“Ini adalah absurditas yang nyata. Harimau ini tidak lagi memiliki makna dalam keberadaannya. Ia telah membiarkan dirinya didefinisikan oleh tikus-tikus yang mencemoohnya. Ia bukan lagi raja, bukan lagi pejuang, ia hanyalah sebuah tragedi yang berjalan.”
Lao Tzu ,menghela napas panjang
“Keseimbangan telah hancur. Harimau yang terlalu kaku dalam kekuasaan gagal beradaptasi, sedangkan tikus yang lincah menemukan celah untuk menguasai keadaan. Di dunia ini, bukan yang paling kuat yang bertahan, tetapi mereka yang paling fleksibel dalam menghadapi perubahan.”
Sementara mereka berdiskusi, di kejauhan, sang harimau hanya bisa menatap tanah kosong di depannya. Ia ingin bangkit, ingin kembali ke puncak, tetapi tubuhnya terlalu berat, dan pikirannya telah tertutup oleh rasa putus asa.
Tikus-tikus terus berpesta, menggali lubang-lubang baru dalam sistem yang sudah rapuh. Hutan semakin porak-poranda, dan hanya waktu yang akan menjawab: apakah harimau akan kembali menemukan dirinya, atau ia akan menjadi sekadar kisah lama yang diceritakan dengan nada jenaka?
Di bawah langit yang mulai gelap, hutan terdiam, menyaksikan hukum alam yang telah terjungkal.(*)
Padang, 3/2025.