Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Tradisi Lisan di Antara WhatsApp

March 18, 2025 05:33
IMG-20250318-WA0024

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Di Bali, kata-kata bukan sekadar bunyi yang mengalir dari bibir ke telinga. Ia adalah jembatan, ia adalah penghormatan, ia adalah bukti kesungguhan.

Dalam pusaran zaman yang terus bergerak, ketika undangan dapat dikirim dengan sekali tekan melalui WhatsApp, budaya lisan pada komunitas Bali di mana pun mereka berada masih tegak berdiri, budaya lisan begitu kuat, tak tergoyahkan.

Seorang sahabat pernah bercerita. Ia tengah berbahagia, menyusun hajatan, lalu mengirim undangan kepada ratusan teman melalui WhatsApp.

Pesan terkirim, dua centang biru menyala tanda terbaca, dan ia membayangkan senyum-senyum hangat para sahabatnya.

Namun, di hari bahagianya itu, yang datang hanya segelintir. Kursi kosong berbaris, makanan tersisa, dan hatinya teriris.

Teknologi telah menghubungkan pesan, tapi tidak hatinya.

Di tanah Bali, ketika seorang utusan mengetuk pintu, berbusana adat, membawa kabar tentang pawiwahan atau upacara yadnya lainnya, si penerima pun menyambut dengan penuh hormat.

Ia tak akan membiarkan tamu berdiri sendiri dengan busana Bali, ia pun menyambutnya dengan busana adat, setidaknya dengan selendang yang melingkar di pinggang.

Itu sebagai tanda resmi menerima kedatangan undangan tersebut.

Undangan yang datang dengan kesungguhan seperti itu tak akan diabaikan. Sebab di balik kehadiran utusan, ada makna, ada kepatutan, ada etika yang dijunjung tinggi yang harus dihormati baik oleh yang ngundang juga yang menerima undangan.

Mereka yang diundang dengan cara demikian tak akan sembarangan untuk tak memenuhi undangan itu, betapa pun sibuknya, mereka akan berusaha datang kecuali ada persoalan lain, sebab undangan yang diantarkan langsung bukan sekadar pemberitahuan, tapi sebuah penghormatan.

Orang Bali menyebutnya sebagai pebuat—suatu dorongan moral yang penting untuk memenuhi ajakan dengan rasa hormat.

Namun, bagaimana dengan undangan yang dikirim melalui WhatsApp? Pesannya memang sampai, tapi auranya tidak.

Teknologi telah meringankan beban komunikasi, tetapi menggerus makna di dalamnya. Bahasa tertulis, meski jelas, namun tidak mampu menyampaikan rasa sebagaimana bahasa lisan.

Apalagi dalam tradisi adat, di mana kata-kata bukan sekadar alat komunikasi, tetapi bagian dari penghormatan yang diwariskan turun-temurun.

Lebih dalam lagi, dalam upacara ngaben, penyampaian kabar bukan sebagai undangan, melainkan piuning—sebuah informasi bahwa seseorang telah mendahuluinya dan segera akan diaben.

Tak ada paksaan untuk datang, namun mereka yang menerima piuning akan merasa terpanggil dengan sendirinya.

Inilah kekuatan bahasa lisan di Bali: ia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga alat pemersatu, penjaga adat, dan penguat solidaritas sosial di mana pun mereka berada.

Maka, meskipun dunia digital terus mengembangkan cara baru dalam berkomunikasi, ada yang tetap tak tergantikan.

WhatsApp bisa mengirim pesan dalam hitungan detik, tetapi ia tak bisa menggantikan tatapan mata yang tulus, gestur penghormatan, atau kesakralan kata-kata yang disampaikan dengan sepenuh hati.

Tradisi lisan di Bali adalah sakral, lebih dari sekadar medium komunikasi, tetapi juga cara menjaga keharmonisan, kesungguhan, dan makna dari setiap pertemuan.

Inilah paradoks zaman. Teknologi menawarkan kemudahan, tetapi di sisi lain, manusia kehilangan kedalaman makna dalam berkomunikasi.

Dan di Bali, di mana adat dan tradisi masih dijunjung tinggi, pesan WhatsApp mungkin berguna, tetapi ia tetap tak akan pernah bisa menggantikan kekuatan suara yang datang langsung dengan penghormatan dan kesungguhan. (*)

Denpasar, 18 Maret 2025

Berita Terkait