Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Manipulasi Moral dalam Beragama

March 19, 2025 05:40
IMG_20250319_053816

Hamdan eSA
Dosen Ilmu Komunikasi Unasman

HATIPENA.COM – Di sebuah desa kecil, hidup seorang lelaki bernama Pak Hisam. Ia dikenal sebagai sosok yang paling rajin beribadah. Azan belum berkumandang, ia sudah di masjid. Ia selalu berada di barisan depan saat shalat berjamaah, rajin bersedekah, dan sering memberikan ceramah agama di masjid. Ia pun sering menasihati orang-orang di kampungnya, terutama para anak muda yang ia anggap mulai “longgar” dalam beragama.

Suatu hari, Amir datang dengan wajah ragu-ragu.

“Pak, saya ingin bertanya. Apakah berdosa jika saya tidak bisa puasa penuh karena sakit”?

Pak Hisam menatapnya sejenak, lalu menghela napas. Dengan suara berat, ia berkata, “Nak, bukankah kita diajarkan untuk menahan diri? Orang yang beriman pasti bisa melawan godaan lapar dan haus, kecuali kalau sakitnya benar-benar parah. Tapi kalau hanya lemas sedikit, ya, harus tetap berusaha. Kamu mau jadi Muslim yang kuat atau lemah?”

Amir terdiam. Ia tahu bahwa agama memberikan keringanan bagi orang sakit, tetapi kata-kata Pak Hisam membuatnya merasa seolah-olah imannya dipertanyakan. Sejak saat itu, setiap kali ia batal puasa karena sakit, ia dihantui rasa bersalah. Ia merasa takut, bukan kepada Tuhan, tetapi kepada penilaian orang-orang di sekitarnya.

Beberapa waktu kemudian, Budi mendengar kisah itu dan bertanya kepada Pak Hisam, “Pak, bukankah ada ayat yang membolehkan orang sakit tidak berpuasa?”

Pak Hisam tersenyum tipis. “Benar. Tapi kalau semua orang berpegang pada keringanan, nanti jadi kebiasaan. Harus ada ketegasan, biar orang tidak malas beribadah.”

Budi mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya, ia bertanya-tanya: apakah ajaran agama harus selalu dipaksakan dengan cara seperti ini?


Kita ketahui bersama, agama dan moralitas memiliki kaitan erat dalam membentuk nilai-nilai kehidupan. Agama sering dijadikan sumber moralitas, memberikan pedoman tentang mana yang benar dan salah. Namun, dalam praktiknya, ajaran agama tidak selalu diterapkan secara murni, melainkan sering dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.

Manipulasi moral adalah penggunaan nilai-nilai moral untuk mengendalikan, menekan, atau mempengaruhi orang lain dengan cara yang tidak selalu sesuai dengan prinsip etika yang sebenarnya. Dalam kehidupan sosial, manipulasi moral bekerja dengan menanamkan rasa bersalah, ketakutan, atau kewajiban yang berlebihan agar seseorang mengikuti kehendak pihak tertentu.

Dalam konteks agama, ada perbedaan antara beragama murni—yang menekankan kesadaran spiritual, kasih sayang, dan keikhlasan—dengan agama sebagai alat control. Ajaran agama digunakan untuk menjustifikasi dominasi, menghambat kebebasan berpikir, atau menekan individu agar patuh terhadap otoritas tertentu.

Individu yang berusaha mempertanyakan atau memiliki pandangan berbeda sering kali diberi label negatif, dianggap kurang beriman, atau bahkan menyimpang dari ajaran agama. Akibatnya, praktik keberagamaan lebih banyak didorong oleh ketakutan terhadap penghakiman sosial daripada kesadaran spiritual yang tulus.

Salah satu bentuk manipulasi moral dalam agama adalah menanamkan rasa bersalah berlebihan. Individu yang beda paham sering kali diberi tekanan sosial dengan dikaitkan pada konsep dosa atau lemahnya iman. Mereka dibuat merasa bersalah karena tidak mengikuti standar keberagamaan yang diterapkan oleh kelompok tertentu.

Misalnya, seorang perempuan yang memilih tidak berjilbab karena alasan pribadi, diberi label “kurang beriman” dan ditakut-takuti berdosa, padahal ia tetap menjalankan ibadah dengan baik.

Selain itu, juga ada penyalahgunaan otoritas keagamaan. Figur yang memiliki otoritas, menggunakan posisinya untuk mengontrol pengikutnya, baik dalam urusan ibadah, keputusan sosial, bahkan politik. Alih-alih membimbing dengan hikmah, mereka justru menggunakan doktrin untuk menekan individu agar tunduk pada kehendak pribadi atau kelompoknya.

Misalnya, seorang tokoh menyatakan bahwa hanya pengikutnya yang memiliki pemahaman yang benar, sementara kelompok lain dianggap sesat, eksklusif dan ketaatan buta.

Praktik pamer kesalehan juga sering terjadi, di mana ibadah dan amal baik dijadikan alat pencitraan sosial. Kesalehan seseorang diukur berdasarkan tampilan luar, bukan dari ketulusan hati. Sehingga agama lebih menjadi ajang kompetisi sosial daripada sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Misalnya, pejabat publik yang sengaja menunjukkan dirinya rajin beribadah hanya saat mendekati pemilu untuk menarik simpati pemilih.

Selanjutnya, eksploitasi nilai ibadah untuk kepentingan komersial dan politik juga kerap terjadi. Agama digunakan sebagai alat untuk meraih keuntungan ekonomi melalui bisnis berbasis spiritualitas atau sebagai sarana kampanye politik dengan membangun citra religius.

Terakhir, ada kecenderungan membingkai perbedaan sebagai penyimpangan moral. Individu atau kelompok dengan pemahaman yang beda, dikucilkan, dicap sesat, atau bahkan dikriminalisasi. Misalnya, sekelompok orang yang memiliki pemahaman berbeda dalam beribadah dianggap sebagai “kelompok sesat” hanya karena tidak mengikuti tradisi mayoritas.

Manipulasi moral dalam kehidupan beragama memiliki dampak signifikan, baik bagi individu maupun masyarakat.

Bagi individu, manipulasi moral dapat menciptakan beban psikologis yang berat. Seseorang yang intens dicap salah akan merasa tertekan dan cemas dalam menjalankan agama. Ibadahnya lebih didorong oleh rasa takut akan hukuman sosial daripada kesadaran spiritual.

Manipulasi moral menyebabkan kehilangan kebebasan berpikir, karena individu cenderung mengikuti aturan tanpa mempertanyakannya.

Di tingkat masyarakat, manipulasi moral mendorong polarisasi sosial. Kelompok yang berbeda pemahaman saling menghakimi. Hal ini juga melahirkan standar ganda moral. Aturan agama diterapkan secara selektif sesuai kepentingan tertentu. Akibatnya, terjadi eksklusi sosial. Yang dianggap berbeda dipinggirkan.

Menghadapi manipulasi moral dalam agama membutuhkan pemahaman lebih kritis dan reflektif. Individu perlu mendalami ajaran agama dengan perspektif yang lebih luas. Tidak hanya menerima doktrin tanpa berpikir, tetapi juga mempertanyakan apakah suatu ajaran benar-benar mencerminkan nilai spiritual sejati.

Pendidikan dan dialog berperan penting dalam mengurangi manipulasi moral. Melalui diskusi terbuka dan akses terhadap berbagai sumber pemikiran, masyarakat dapat memahami agama secara lebih objektif dan inklusif.

Yang terpenting, agama harus ditekankan sebagai sarana pencarian makna hidup, bukan alat kontrol sosial. Dengan demikian, praktik beragama didasarkan pada kesadaran pribadi dan ketulusan, bukan tekanan atau ketakutan sosial. (*)

Wallhu a’lam.

Madatte, 19 Maret 2025