Warsit MR
Catatan Masa Kecil dari Sudut Desa, Menakar Keberanian
HATIPENA.COM – Biasanya di desa ada tempat tempat yang dianggap memiliki kekuatan magis atau lebih dikenal “wingit.” Tempat tempat tersebut bisa pada pohon, song atau goa, makam, sendang, danau, atau bisa juga berupa “luweng,” yakni tempat pusaran air pada ujung akhir sebuah sungai, selanjutnya air mengalir masuk ke dalam perut bumi lanjut ke laut.
Sebagian masyarakat desa masih ada yang memercayai adanya tempat tempat wingit tersebut. Salah satunya adalah saya sendiri.
Tahun 1971, saat aku memasuki bangku SLTP pernah diajak teman saya-sebut saja namanya Surem, untuk mendatangi tempat-tempat wingit di sekitar desaku.
Tujuh tempat wingit tersebut akan didatangi pada saat malam hari, dimulai pukul 0.00 WIB.
Kata Surem, kalau kami berhasil mendatangi tujuh tempat wingit dalam waktu satu malam, dan tidak mendapat gangguan apa pun dalam malam itu, maka ke depan kami akan menjadi orang yang sukses.
Tidak perlu berpikir panjang, ajakan Surem saya sanggupi. Kami berdua menyepakati rencana tersebut dilakukan pada hari Kamis Wage malam Jumat Kliwon. Kemudian kami menentukan tujuh titik tempat wingit yang akan didatangi, yaitu:
Satu, pohon Elo atao Lo yang penghuninya dipercaya warga bernama Mbah Guguh. Dua, gua kecil yang berdekatan dengan pohon Widoro, di sebelah utara desa Wilayu yang tak jauh dengan makam. Tiga, makam Eilayu. Empat, pohon Kemang di makam desa Kuwon. Lima, luweng Jurug, di desa Kuwangen. Enam, Kali Suci di desa Jetis. Tujuh, danau yang lebih dikenal dengan Telaga Jonge.
Surem menjelaskan bahwa, selama memasuki tempat tempat wingit diantara kami berdua tidak boleh berbicara apa pun. Kecuali bila ada hal yang dirasa sangat penting diperbolehkan dengan gerakan isyarat.
Satu syarat lagi yakni berupa larangan. Malam itu dilarang memakai celana, dan hanya boleh pakai baju dan sarung.
Tiba saatnya waktu yang sudah disepakati berdua. Malam Jumat Kliwon saat itu kami memulai rencana mistis itu.
Pertama Aku dan Surem menuju pohon Elo yang diyakini dijaga oleh mbah Guguh. Setelah bersila di bawah pohon Elo sekitar sepuluh menit, perjalanan kami lanjutkan.
Berikutnya, menuju gua kecil di samping pohon Widoro. Di gua ini kami juga bersila selama sepuluh menit.
Masih dalam sikap saling diam tanpa bicara apa pun. Melanjutkan perjalanan menuju ke pohon Kemang di makam desa Kuwon. Jarak dari goa ke pohon Kemang sekitar satu kilo meter.
Setelah meditasi sepuluh menit di bawah pohon Kemang yang sekaligus di dalam makam Kuwon, kami berdua melanjutkan perjalanan kaki menuju goa Jurug desa Kewangen. Letak goa Juruk sekitar satu kilo meter dari makam Kuwon.
Selama meditasi di empat tempat tersebut, semuanya berjalan lancar. Ternasuk kesepakatan untuk tidak saling bicara tetap terjaga. Namun demikian sejujurnya setiap mau memasuki wilayah tujuan yang wingit tersebut bulu kudukku sempat berdiri alias merinding, tapi tetap kupaksa untuk tenang.
Terlebih selama perjalanan dan juga selama di tempat tempat wingit tanpa menggunakan penerangan apa pun. Tanpa lampu obor, listrik, senter apalagi handphone.(*)
(Bersambung)
Semarang, 20092023