Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Jejak Waktu di Telapak Kasih Ibu

December 27, 2024 08:45
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Hatipena
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Hatipena

Puisi Hasbollah Tousta

<<1>>
Senja itu…
angin sepoi melantunkan syair ketenangan,
menerpa wajah para pelancong
yang menelusuri panorama
negeri indah bernama Saparua.

Di beranda mungil yang mulai lusuh,
haru membentang seperti kanvas waktu:
sedih dan gembira berpadu,
kenangan melukis bayang silam.
Di sana, engkau ibuku, membuaiku dengan doa,
mengalirkan cita,
mengisi udara dengan kebebasan yang kudamba.

<<2>>
Kususun memori hidupku
seperti mosaik yang terhampar,
jejak waktu yang datang dan pergi,
mengalir tanpa pernah tawar-menawar.
Lorong-lorong perjalanan terbuka,
dan aku terjebak dalam potret hidupku sendiri,
terutama masa-masa bersama ibu—
tumbuh dalam pelukannya,
melewati suka dan duka
di bawah limpahan kasih tak bertepi.

Ibuku…
engkau matahari dalam hidupku,
cahayamu membakar letih
tanpa meminta balas.
Engkau adalah selimut kehangatan,
tempat kutemukan keteduhan.
Di wajahmu yang redup namun bercahaya,
ada ridha yang selalu kupanjatkan.

<<3>>
Terbayang masa kecilku…
Saat ibu menuntunku melewati
kegetiran hidup.
Di kepalamu,
tumpukan beban;
di punggungmu,
cerita getir;
di hatinmu, lautan doa;
di senyummu, oase perjuangan hidup.
Betapapun kakiku menganga berdarah,
aku terus melangkah ke ujung dunia,
menghidupi mimpi yang engkau sisipkan dalam pelukan.

Kuingat kembali saat-saat
kita menyusuri negeri tetangga:
Siri-Sori Serani, Ulath, Ouw,
atau ke kota Saparua.
Kita menjual ikan tangkapan papa—
terkadang semuanya terbeli,
terkadang tak seekor pun laku.
Tapi ibu tetap tersenyum,
seolah mengajarkan bahwa harapan
adalah doa yang tak perlu suara.

<<4>>
Ibuku…
engkau bukan sekadar ibu,
engkau adalah guru,
penjaga moral dalam jiwaku.
Meski engkau tak mengenal kata-kata dan jargon besar,
sikap dan lembut kasihmu
menjadi semesta yang membentukku.
Engkau melukis cinta dengan tindakan,
mengajariku bahwa nilai hidup
tak perlu aksara,
hanya hati yang tulus.

Terima kasih, ibu…
doamu masih kupinta,
ridhomu tetap kunanti.
Karena aku tahu,
tanpamu aku takkan mampu
menggapai ridha Ilahi.

Suara azan memanggil,
suara itu mengingatkanku
untuk bersujud,
menunduk pada Yang Maha Kuasa,
dengan hati yang dipenuhi cinta untukmu ibuku.

Kebun Cengkeh, Ambon, Desember 2024

Penulis adalah Pimpinan Yayasan Sombar, Negeri Maluku dan Komunitas Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat (KPPIM) Satupena Ambon.