Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Bali Dulu Itu, Saat Ini

March 21, 2025 05:16
IMG_20250321_051531

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Kamis, 20 Maret 2025 saya melintasi jalanan Denpasar dengan sepeda motor.

Dari Peguyangan menuju Jalan Seroja, lalu ke Kenyeri, Hayam Wuruk, Drupadi, mengkol dikit ke Badak dan akhirnya Cok Tresna di Renon.

Anehnya, jalanan terasa lengang. Nyaman. Aman. Lancar.

Padahal, biasanya pada jam-jam berangkat ke sekolah dan kantor, Jalan Seroja macet tak terhindarkan, Hayam Wuruk padat merayap, dan Kenyeri pun sesak oleh kendaraan.

Siang harinya, bersama rombongan, saya berangkat ke Singapadu, Gianyar, menghadiri upacara mepandes.

Dari Cok Tresna ke Drupadi, Hayam Wuruk belok ke Nusa Indah lalu ke W.R. Supratman hingga Singapadu, jalanan tetap lapang. Tak ada kepadatan, tak ada suara klakson yang memekakkan telinga.

Pulangnya pun demikian. Aman, lancar, tak menemukan macet.

Mengapa bisa demikian? Ternyata, ini hari ke-20 puasa. Idul Fitri semakin dekat. Banyak warga pendatang telah mudik ke kampung halaman.

Kios-kios sudah banyak yang tutup, pedagang kaki lima mulai menghilang, tukang cukur rambut pun sulit dicari, para pekerja yang biasa mengisi ruang-ruang kota sudah kembali ke tanah asalnya. Denpasar pun lengang, seperti dulu, seperti Bali yang telah berlalu.

Tapi di balik ketenangan ini, ada pertanyaan yang menggantung di udara.

Saat para pendatang pulang, Bali kehilangan banyak hal. Pecel lele sulit dicari, tukang cukur tak ada, bengkel sepi montir, tukang bangunan menghilang, bahkan sekadar mencuci mobil pun jadi perkara.

Dirasakan atau tidak, masyarakat Bali terutama di kota Denpasar, telah terbiasa menggantungkan diri pada pendatang untuk mengisi sektor-sektor informal yang tak lagi mereka minati.

Kini, dengan kepergian mereka sementara, ketergantungan itu terlihat jelas.

Lalu, bagaimana jika mereka tak kembali? Di sinilah paradoksnya. Di satu sisi, ada kerinduan akan Bali yang tenang, Bali yang dulu. Tapi di sisi lain, ada ketergantungan yang tak bisa disangkal.

Bali tak bisa menolak pendatang, tapi Bali juga tak boleh kehilangan ketenangan dan kenyamanannya. Maka, mau tidak mau, jika peduli, politik demografi harus dijalankan karena tidak semua pendatang merusak, tidak semua pendatang mengambil tanpa memberi. Ada yang membangun, ada yang bekerja sungguh-sungguh untuk Bali. Mereka harus dilindungi, bukan dibiarkan menghilang dalam stigma.

Dalam politik demografi penjamin menjadi solusinya. Seperti kita akan tinggal di suatu negara, kita akan bisa tinggal di negara tersebut bila ada yang memberikan jaminan. Siapa pun mereka yang tinggal di Bali harus demikian, harus ada seseorang yang bertanggung jawab atas keberadaannya.

Jika tak ada yang menjamin, Desa Adat di Bali tak membolehkannya tinggal. Sebab, jika terjadi aib, perkelahian, perampokan dan pertumpahan darah di wewengkon desanya, desa adat melaksanakan upacara yang memerlukan duit tak sedikit, maka disinilah peran penjamin itu.

Ketegasan perlunya penjamin penting untuk menjaga Bali aman dan damai, menjaga ketenangan dan kenyamanan pulau Dewata. Karena Bali bukan hanya tanah yang diinjak, tapi juga jiwa yang harus dijaga. Oleh siapa? Oleh semua yang tinggal di Bali..(*)

Denpasar, 21 Maret 2025