Oleh Hamdan eSA
HATIPENA.COM – Dikisahkan bahwa di sebuah kerajaan yang makmur, hiduplah seorang raja yang gemar berpesta dengan makanan-makanan mewah. Ia memiliki koki terbaik yang selalu menyajikan hidangan dengan bahan-bahan termahal: daging rusa, rempah-rempah dari negeri jauh, dan anggur pilihan. Setiap malam, ia duduk di meja panjang penuh hidangan, menikmati makanan tanpa pernah merasa lapar.
Suatu hari, raja mengunjungi seorang petani tua di desa. Ia melihat petani itu duduk di depan gubuknya, hanya dengan sepotong roti kering dan air dari sumur.
Dengan rasa ingin tahu, raja bertanya, “Mengapa kau terlihat begitu puas hanya dengan roti keras dan air”?
Sang petani tersenyum dan menjawab; “Baginda, makanan paling lezat bukanlah yang dibuat dengan emas, tetapi yang dimakan dengan rasa lapar. Sejak pagi aku bekerja di ladang, dan kini, karena lelah dan lapar, roti ini terasa seperti hidangan istana. Tetapi Baginda, kapan terakhir kali Baginda benar-benar merasa lapar”?
Jawaban itu membuat raja terdiam. Ia menyadari bahwa selama ini, ia tidak pernah benar-benar menikmati makanan, karena tidak pernah merasa kekurangan. Hidupnya penuh kemewahan, tetapi justru kosong dari kenikmatan sejati. Sejak hari itu, sang raja memutuskan untuk berpuasa sekali seminggu, agar bisa kembali merasakan kesederhanaan, keikhlasan, dan rasa syukur.
-0-
Pada tahun 1750 silam, J.J. Rousseau menulis karyanya; _Discourse on the Sciences and Arts_, dan 1755 dengan judul: _Discourse on the Origin and Basis of Inequality Among Men_. Melalui kedua karya ini, Rousseau ingin membangun argumen bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan kebudayaan tidak selalu membawa kebaikan bagi manusia, tetapi justru sebaliknya, menjadi penyebab kemerosotan moral dan sosial.
Budi Hardiman, merangkum argumen Rousseau ini dengan istilah “kejahatan kebudayaan”. Istilah ini menunjuk pada suatu proses bagaimana kebudayaan menjauhkan manusia dari keadaan alaminya.
Rousseau percaya bahwa manusia pada keadaan alaminya (_state of nature_) adalah makhluk yang bebas, polos, dan baik (_noble savage_). Namun, perkembangan kebudayaan dan peradaban justru memperkenalkan ketidaksetaraan, keserakahan, dan ketidakadilan.
Rousseau berpendapat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan seni tidak selalu membawa kebaikan, tetapi justru merusak moralitas manusia. Ia menyebut ini sebagai bentuk korupsi moral (_corruption of morals_), di mana manusia menjadi lebih peduli pada citra sosial dan kemewahan, bukan pada nilai-nilai sejati seperti kebajikan dan kesederhanaan.
Rousseau membedakan antara dua jenis cinta. Pertama; _amour de soi_, yakni cinta diri alami yang sehat dan berorientasi pada kelangsungan hidup. Kedua; amour-propre, yakni cinta diri yang telah dipengaruhi oleh kebudayaan, di mana manusia mulai membandingkan dirinya dengan orang lain dan berusaha mendapatkan pengakuan sosial.
Amour-propre ini yang menurutnya menyebabkan kesenjangan sosial, keserakahan, dan penderitaan, karena manusia menjadi terobsesi dengan status dan kepemilikan.
Rousseau juga menyebut bahwa peradaban menciptakan ketidaksetaraan moral (moral inequality), di mana kelompok elite yang mengontrol kebudayaan makin kuat, sementara rakyat jelata semakin tertindas. Dalam keadaan alami, manusia hidup bebas dan setara, tetapi kebudayaan membangun hierarki buatan yang menindas banyak orang.
Rousseau mengatakan: _“Man is born free, and everywhere he is in chains”_ (manusia dilahirkan bebas, dan di mana-mana ia terbelenggu). Artinya, manusia terlahir bebas secara alami, tetapi peradaban telah menciptakan belenggu (_chains of civilization_) yang membatasi kebebasan sejati manusia.
Dengan _state of nature_, Rousseau tidak secara harfiah hendak mengajak manusia untuk kembali ke kehidupan primitif, tetapi ia mengusulkan masyarakat yang lebih sederhana dan egaliter. Pendidikan moral dan politik harus diarahkan untuk menumbuhkan kebebasan dan kesetaraan.
Gagasan Rousseau tentang masyarakat sederhana, bebas dan egaliter sangat sejalan dengan makna puasa Ramadhan, khususnya dalam konsep “kembali ke fitrah”. Dalam Islam, _fitrah_ dapat dipahami sebagai keadaan asli manusia yang suci, sederhana, dan bebas dari pengaruh keserakahan duniawi.
Sebuah hadis diriwayatkan dari Abu Hurairah, menyatakan; _“kullu mauludin yuladu alal fitrah”_. Artinya; setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Fitrah manusia dipahami sebagai keadaan yang suci dan murni, serta anugerah dari Allah yang mencakup tiga aspek utama, yaitu potensi fisik, intelektual (akal), dan spiritual (hati).
Hal ini memiliki kemiripan —jika tidak ingin disebut sejalan— dengan konsep _state of nature_ (keadaan alami) dalam pemikiran Rousseau.
Puasa Ramadhan mengajarkan manusia untuk menahan diri dari hawa nafsu dan keserakahan. Ramadhan menjadi momentum untuk kembali pada pola hidup sederhana, menjauh dari konsumsi berlebihan dan kesenangan duniawi yang sering kali melupakan hakikat kehidupan. Sementara, Rousseau mengkritik peradaban modern yang menjerumuskan manusia ke dalam kehidupan materialistis.
Puasa mengajarkan nilai kesetaraan dan solidaritas. Orang kaya merasakan bagaimana rasanya lapar seperti kaum miskin, sehingga ada dorongan untuk berbagi dan menumbuhkan empati sosial, misalnya dalam bentuk zakat dan sedekah. Rousseau mengkritik bahwa peradaban justru menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar, dan menjauh dari kesetaraan dan solidaritas.
Puasa mengajarkan keikhlasan dan introspeksi diri. Tidak seperti kebudayaan konsumtif yang menilai seseorang dari status dan kekayaan, dalam Ramadhan justru yang lebih penting adalah ketaatan dan kesucian hati. Rousseau mengkritik bagaimana peradaban membuat manusia lebih peduli pada citra daripada moralitas sejati.
Ramadhan memiliki dimensi transformasi sosial. Ia bukan sekadar ritual individual, tetapi juga sarana perbaikan sosial dan politik, termasuk memperjuangkan keadilan dan menghapus penindasan. Rousseau menginspirasi Revolusi Prancis dengan gagasan kebebasan dan kesetaraan.
Dari perspektif ini, puasa bisa dilihat sebagai bentuk kritik terhadap “kejahatan kebudayaan” yang disebut Rousseau—yakni peradaban yang telah menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaan sejati, jauh dari fitrah. Puasa membawa manusia kembali ke keadaan lebih murni, lebih sederhana, dan lebih berkeadilan, sebagaimana yang diidealkan oleh Rousseau dalam konsep masyarakat egaliter.(*)
Wallahu a’lam.
Madatte Polman, 21 Maret 2025