Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pengembara Kata yang Dibungkam

March 21, 2025 06:23
IMG-20250321-WA0028

Penulis : Ririe Aiko

#30Harimenulispuisiesai

Puisiesai21

HATIPENA.COM – Puisi Esai ini terinspirasi dari kisah tragis Jamal Khashoggi, jurnalis yang dikenal karena keberaniannya mengkritik kekuasaan. Pada 2 Oktober 2018, ia memasuki Konsulat Saudi di Istanbul dan tak pernah keluar hidup-hidup –

—ooo—

Di antara kubah-kubah yang melantunkan doa,
angin Istanbul mengusung kisah yang tak kunjung usai.
Langit berpendar ungu, seperti tinta kesedihan yang tumpah,
seakan mencatat luka yang tak berbilang.
Seorang lelaki melangkah, membawa mimpi dan harapan,
menuju gedung dengan bendera hijau, tempat cinta seharusnya bertaut.
Namun, di dalam sana, waktu mendadak runtuh,
dan dunia menghapus jejak langkahnya.

Ia datang dengan nama yang melekat di lembaran berita,
dikenal karena keberaniannya menggoreskan kejujuran.
Namun, di ruang itu, tak ada yang peduli pada nama,
hanya kepentingan yang berbisik di balik tembok.
Seperti bayangan yang tak ingin dikenal,
penguasa mengintai, menunggu saat yang tepat
untuk merenggut suara yang tak ingin mereka dengar. (1)

Namanya Khalid, pengembara kata,
penjaga kisah yang tak boleh tenggelam.
Ia menulis bukan untuk berkuasa,
tapi untuk membiarkan cahaya menembus gelap.
Namun penguasa tahu,
kata-kata lebih tajam dari belati,
dan bagi mereka yang takut pada kejujuran,
kebenaran adalah musuh yang harus dimusnahkan.

Langkah Khalid menapaki marmer dingin,
menyusuri lorong tanpa petunjuk.
Di balik dinding yang berdiri kokoh,
kesunyian menjadi saksi bisu.
Ia tahu, di tanah ini,
suara kebenaran bisa membuatnya terbunuh,
namun ia tak pernah berpikir
bahwa kata-kata akan membuatnya lenyap
dalam hitungan detik.

—ooo—

Mereka menanti dalam senyap,
dalam bayangan lorong yang menyimpan rahasia kelam.
Langkah Khalid menghilang di koridor batu yang saling berbisik,
satu suara kebenaran berhasil terbungkam
oleh kekuasaan yang takut digulingkan.

Di ruang sunyi itu, mungkin ada bisikan terakhir,
pertanyaan yang menggantung di udara tipis:
“Apakah aku salah karena berkata benar?”
Namun yang menjawab hanya kebisuan,
dan bayang-bayang hitam yang melahap harapan.

Darah, telah merembes ke ubin,
namun siapa yang berani mengakui,
jika kebenaran saja dengan mudah dihancurkan?
Maka jasadnya pun dengan mudah diubah menjadi abu,
atau mungkin sudah terkubur dalam peti yang tak pernah dibuka.

Di luar gedung, seorang wanita menanti,
menatap pintu yang tak kunjung terbuka.
Ia menggenggam ponselnya erat,
membaca pesan terakhir yang belum sempat ia balas.
“Aku segera kembali,” kata Khalid semalam.
Tapi yang kembali hanyalah sepi,
dan bayangan kerinduan yang merobek hati. (2)

—ooo—

Berita mengalir di layar kaca,
Tapi kebenaran tetap tertahan.
Negara berbicara dalam bahasa diplomasi,
memilih diam atas nama kepentingan.
Suara dunia mulai menggema di langit kota:
“Di mana Khalid?”
Namun pertanyaan itu hanya dijawab angin,
dalam bahasa sunyi yang tak terjemahkan.

Kesepakatan ditulis dengan darah di meja kekuasaan,
kebohongan dirajut menjadi selimut yang menutupi dosa.
Tangan-tangan tak terlihat menandatangani perjanjian,
menukar nyawa dengan kepentingan ekonomi,
menghapus jejak dengan tumpukan dokumen rahasia. (3)

Namun sejarah tak pernah tertidur.
Tinta yang menulis namanya akan tetap mengalir,
dan malam yang mencuri nyawanya,
kini menjelma fajar bagi mereka yang masih berani bersuara.

Di negeri lain, seorang bocah membaca,
memegang pena dengan tangan kecilnya.
Ia menulis nama Khalid di lembar kertas lusuh,
dan berjanji, suatu hari ia akan meneruskan suaranya.
Jurnalis tak pernah benar-benar mati,
karena kata-kata adalah nyawa yang tak bisa dibungkam.
Di antara lembaran yang tak pernah tertutup,
Khalid kecil yang baru akan tetap hidup,
menyuarakan kebenaran dalam keabadian.

—000—

Catatan :

(1) Jamal Khashoggi, jurnalis asal Arab Saudi yang sering menulis kritik terhadap pemerintah Saudi, menghilang setelah masuk ke Konsulat Saudi di Istanbul pada 2 Oktober 2018. (CNN Indonesia)

(2) Hatice Cengiz, tunangan Khashoggi, menunggunya di luar Konsulat Saudi. Ia menjadi saksi pertama yang menyadari bahwa Khashoggi tak pernah keluar dari gedung itu. (NU Online)

(3) Kasus ini memicu ketegangan diplomatik internasional, di mana banyak negara menuntut penyelidikan, namun banyak pula yang memilih diam demi menjaga hubungan politik dan ekonomi dengan Arab Saudi. (Kompas)