Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Kepala Babi Buat Tempo

March 22, 2025 09:00
IMG-20250322-WA0043

Catatan Cak AT

HATIPENA.COM – Di negeri yang katanya demokratis ini, jurnalis ternyata masih dianggap lebih berbahaya dari koruptor. Koruptor bisa mendapatkan potongan hukuman, remisi, atau bahkan diangkat jadi komisaris BUMN. Sementara jurnalis? Mereka bisa mendapat ancaman, penganiayaan, tuntutan hukum, atau kiriman kepala babi ke kantornya.

Ya, Tempo —salah satu media paling keras kepala di Indonesia— baru saja mendapat “hadiah” berupa kepala babi dengan telinga yang sudah dipotong. Bukan yang pertama, tentu saja. Harian Suara Indonesia bahkan pernah dikirimi kepala manusia pada November 1984. Tapi mungkin saja ini hanya kesalahan ekspedisi?

Sayangnya, kita semua tahu ini bukan sekadar salah kirim. Ini pesan intimidasi yang kuno tapi tetap efektif: tutup telinga, atau dipotong seperti babi ini. Tutup mulut, atau hadapi konsekuensinya. Jurnalis yang sudah kenyang pengalaman tahu bahwa ini bukan sekadar urusan kuliner. Ini pesan klasik: “Hati-hati, atau sesuatu yang lebih buruk menanti.”

Yang lebih konyol, ini bukan pertama kalinya media di Indonesia mengalami teror. Setiap kali ada pemberitaan yang terlalu kritis, selalu ada cara untuk membungkamnya. Mulai dari ancaman langsung, tuntutan hukum yang absurd, pemutusan iklan, hingga kekerasan fisik, bahkan pembunuhan.

Tentu, Tempo bukan satu-satunya korban. Di berbagai belahan dunia, jurnalis selalu berada dalam daftar “spesies yang terancam punah.” Sejak 1994 hingga April 2024, menurut Committee to Protect Journalists (CPJ), setidaknya 1.471 jurnalis terbunuh saat menjalankan tugasnya.

Di Indonesia, menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang 2023 saja terjadi 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Bentuknya macam-macam, mulai dari intimidasi, peretasan, hingga kekerasan fisik.

Sementara itu, Reporters Without Borders mencatat 1.705 jurnalis dan pekerja media tewas dalam periode 1994–2024. Ironisnya, sembilan dari sepuluh kasus pembunuhan jurnalis dibiarkan tanpa penyelesaian. Mungkin karena pelakunya terlalu sibuk membaca berita pagi sambil menikmati kopi.

Namun, kekerasan terhadap jurnalis tidak selalu berbentuk pembunuhan. Di medan perang, ratusan jurnalis tewas. Tapi kini ada metode yang lebih modern dan lebih… digital. Doxxing, peretasan, dan serangan bot di media sosial sudah jadi makanan sehari-hari wartawan.

Jurnalis perempuan bahkan lebih sering menjadi sasaran: 73% dari mereka mengalami kekerasan online —mulai dari ancaman pemerkosaan hingga fitnah yang lebih kreatif daripada sinetron Indonesia. Dan jangan lupa, mereka yang bertahan dari serangan digital sering kali menghadapi teror nyata di dunia fisik.

Sementara itu, di Indonesia, AJI dan International Media Support (IMS) sejak 2022 telah mengembangkan piranti penilaian risiko bagi jurnalis. Termasuk modul keselamatan bagi jurnalis lingkungan, karena meliput perusakan hutan atau tambang ilegal kini sama bahayanya dengan meliput perang.

Bedanya, kalau di medan perang musuhnya jelas, sedangkan di sini, musuh bisa berkedok seragam, jas mahal, atau akun anonim di media sosial. Kasus pembunuhan wartawan Tribata TV, Rico Sempurna Pasaribu dan keluarganya, baru saja memasuki persidangan di Pengadilan Negeri Kabanjahe, Sumatera Utara. Tiga terdakwa dituntut hukuman mati.

Namun, mari kita sedikit optimis —atau setidaknya berpura-pura optimis. Selama jurnalis masih terus menulis, selama media masih berani mengungkap, selama kepala babi dan ancaman dalam bentuk apa pun belum berhasil mengubah kepala manusia menjadi pengecut, maka masih ada harapan.

Memang, demokrasi kita masih penuh paradoks. Kebebasan pers dijamin konstitusi, tapi jurnalis masih dihantui intimidasi. Media dipuji sebagai pilar demokrasi, tapi sering diperlakukan seperti musuh negara. Pejabat kita mengutuk kekerasan terhadap pers, tapi entah kenapa pasal-pasal karet dalam UU ITE masih digunakan untuk membungkam suara kritis.

Tempo dan media kritis lainnya tentu paham risiko ini. Mereka tahu bahwa mengungkap kebenaran bisa berarti menerima ancaman, gugatan, atau bahkan kekerasan. Tapi tanpa mereka, kita hanya akan mendengar cerita yang dipoles, fakta yang disensor, dan narasi yang hanya menguntungkan mereka yang berkuasa.

Jadi, apakah kiriman kepala babi ini akan membuat Tempo dan jurnalis lainnya mundur? Rasanya tidak. Karena meskipun babi itu dipotong telinganya, jurnalis sejati tidak akan kehilangan pendengarannya. Mereka tetap mendengar suara rakyat, suara korban, suara kebenaran —dan terus menuliskannya.

Kepada siapa pun yang mengirim kepala babi itu, mungkin ada baiknya Anda belajar dari sejarah. Membungkam pers dengan teror jarang berhasil. Yang lebih sering terjadi justru sebaliknya: semakin ditekan, semakin kuat perlawanan. Dan kepala babi yang dikirim ke kantor Tempo? Ia kini bukan sekadar bangkai, tapi simbol betapa lemahnya mereka yang takut pada berita. (*)

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 22/3/2025