Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Tatkala Bahasa Tak Lagi Beradab

March 26, 2025 11:33
IMG-20250326-WA0044

Elza Peldi Taher

HATIPENA.COM – Belakangan, lidah pejabat seolah kehilangan kendali. Kata-kata yang seharusnya membangun malah menjadi palu godam yang menghantam akal sehat dan rasa hormat.

Presiden Prabowo Subianto, dalam sebuah kesempatan pernah menyela kritik terhadap pemerintah dengan kata “ndasmu”—ungkapan Jawa yang bermakna kasar, sering dianggap merendahkan lawan bicara. Ketika seorang kepala negara menyampaikan amarah dengan diksi seperti itu di podium, publik bertanya-tanya: ke mana perginya wibawa bahasa dan adab pemimpin?

Kini, publik kembali digegerkan oleh dua pernyataan yang menusuk nalar dan nurani. Ketika ditanya soal kiriman kepala babi ke kantor Tempo—sebuah bentuk teror yang serius—Hasan Nasbi, seorang lingkaran istana, menyahut ringan: “Ya dimasak saja.” Sementara itu, Jenderal TNI Maruli , menyebut kritik terhadap Dwifungsi TNI sebagai sesuatu yang “kampungan.” Beginikah bahasa para pemimpin negeri ini? Lelucon pahit dan label merendahkan?

Dalam sejarah bangsa, kita pernah punya pemimpin yang lidahnya dijaga dengan penuh kesadaran. Soekarno bisa menyulut semangat lewat pidato yang bergemuruh namun tetap dalam batas-batas kepatutan. Hatta, dengan bahasa secermat akuntan, memilih kata-kata yang tak hanya jernih tapi juga beradab. Syahrir, seorang filsuf-politik, menulis dengan kesantunan seorang guru. Mereka tidak mengumbar kata, sebab mereka tahu: di balik lidah, tersimpan martabat negara.

Kita mesti ingat pepatah bijak dari Ali bin Abi Thalib: “Nilai seseorang tersembunyi di balik lisannya.” Atau pesan klasik dari Theodore Roosevelt: “The most important single ingredient in the formula of success is knowing how to get along with people.” Dan dalam budaya Minangkabau berpesan: “Mulutmu harimaumu.” Kata yang meluncur dari lidah bisa mengangkat martabat, atau menelanjangi kekosongan jiwa.

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Ia cermin integritas. Ketika seorang pejabat berbicara sembarangan, publik bukan hanya kecewa pada pendapatnya, tapi juga pada kepribadiannya. Bangsa ini bukan dibangun dengan caci maki atau candaan sarkastik, melainkan dengan narasi luhur yang mempersatukan, mengobarkan semangat, dan menjaga marwah. Apa jadinya jika anak-anak muda meneladani gaya bicara penguasa? Kita sedang menggali lubang kemunduran: lubang yang dalamnya bukan soal ekonomi atau politik, tapi soal etika dan peradaban.

Pemimpin perlu sadar, setiap kata yang mereka ucapkan adalah gema yang bisa menjangkau jauh hingga ke ruang kelas, ke rumah-rumah rakyat, ke telinga anak-anak yang sedang membentuk identitasnya. Lidah pemimpin adalah guru yang diam-diam dicatat oleh generasi penerus. Jika kata-kata mereka kasar, merendahkan, atau sembrono, maka anak-anak bangsa akan tumbuh dalam kebingungan moral: siapa yang harus mereka teladani? Karena itu, penting bagi seorang pemimpin untuk berkata dengan adab yang tinggi, dengan santun, agar jejak mereka menjadi cahaya, bukan jejak luka.

Karena itu, pendidikan karakter menjadi kunci yang tak bisa ditawar. Di tengah gegap gempita pembangunan fisik dan infrastruktur, bangsa ini tidak boleh abai terhadap pembangunan moral. Karakter tidak tumbuh di ruang kosong; ia ditanam sejak dini, lewat keteladanan, pembiasaan, dan penghargaan terhadap nilai-nilai kebaikan. Tanpa itu, kita akan terus menuai generasi yang cerdas otaknya tapi miskin hatinya; pintar berdebat tapi kasar dalam bertutur.

Bahasa adalah cermin peradaban.

Kita mengenali ketinggian peradaban Mesir Kuno dari hieroglifnya, kebesaran Jawa dari serat dan kidungnya, serta kehalusan jiwa Melayu dari syair dan pantunnya. Ketika bahasa didegradasi menjadi alat olok-olok dan penghinaan, sejatinya yang tercoreng bukan hanya moral pribadi, melainkan derajat kebudayaan kita sendiri. Lidah adalah pintu gerbang jiwa bangsa—dan yang melintasinya haruslah kata-kata yang luhur, bukan hina.

Kita tidak menuntut pejabat menjadi sastrawan. Tapi kita berharap, di setiap kata yang mereka ucapkan, ada tanggung jawab, ada rasa hormat, dan ada akhlak. Apalagi mereka digaji oleh rakyat, disumpah di bawah konstitusi, dan berdiri di panggung yang terang-benderang: istana dan markas besar.

Maka janganlah lidah berubah menjadi ular. Jangan sampai kekuasaan mematikan kepekaan berbahasa. Sebab bangsa yang besar bukan hanya diukur dari kekuatan militernya atau tingginya gedung parlemen, tapi juga dari adab pemimpinnya. Adab bukan barang kampungan. Justru ia adalah mahkota bagi siapa pun yang memegang kuasa. Dan pendidikan karakter—bukan sekadar kurikulum, melainkan kebudayaan hidup sehari-hari—adalah fondasi agar lidah pemimpin kelak tidak lagi menjadi luka, tapi menjadi cahaya.

Sebab, pada akhirnya, sejarah tidak hanya mengingat apa yang dibangun oleh tangan para pemimpin—tetapi juga apa yang mereka ucapkan dengan lidahnya. Dan dari lidah itulah, masa depan bangsa ini bisa tumbuh sebagai taman yang beradab—atau terbakar oleh bara keteladanan yang hilang. (*)

Pondok Cabe Udik 26 Maret 2025