Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
MARI kita mulai cerita ini dengan satu pesan moral, di negeri ini, semua boleh ente kritik. Pemerintah? Silakan. Jalan berlubang? Monggo. Tapi Timnas? Astaga, beraninya ente.
Begini. Sepakbola di Indonesia bukan cuma olahraga. Ini agama kedua. Siapa pun yang mencoba mengusik Timnas sama saja bermain-main dengan perasaan 280 juta jiwa, yang sebagian besar yakin bahwa setiap kritik adalah penghinaan terhadap Garuda di dada.
Lalu datanglah Coach Justin, pria yang konon punya keberanian lebih besar daripada Napoleon Bonaparte. Dia tak gentar melontarkan kritik kepada Shin Tae-yong, si juru taktik yang sudah dielu-elukan bak dewa sepakbola di negeri ini. “Pemilihan pemain STY buruk,” katanya lantang. “Formasi 3-4-3? Lebih cocok buat anak-anak yang main FIFA di PlayStation.” Fans Timnas? Oh, mereka tak tinggal diam.
Bagaikan tentara dalam perang kuno, para fans menyerang. Dari kolom komentar, DM Instagram, hingga ancaman digital yang lebih menyeramkan dari soundtrack sinetron horor. Bahkan ada akun anonim yang mengancam dengan gaya ala mafia. “Aing harap kalian jaga lidah. Jangan coba-coba memancing aing lebih jauh!” Luar biasa, bukan? Seperti dialog dari film The Godfather, hanya saja ini tentang sepakbola.
Justin akhirnya menyerah. Di sebuah video yang dramatis, dia mengumumkan, “Gue berhenti bahas Shin Tae-yong. Ini bukan lagi soal bola, ini soal keamanan keluarga gue.” Dramanya makin memuncak ketika dia menambahkan, “Ini pertarungan yang tidak bisa dimenangkan.” Kalau Hollywood mendengar ini, mungkin Justin sudah ditawari peran utama di film perang psikologis.
Tapi mari kita bahas intinya. Apakah kritik Justin salah? Tidak sepenuhnya. Formasi 3-4-3 yang dipilih STY memang seperti mencoba mengendarai Ferrari di jalan berlubang. Pemain yang dia pilih? Banyak yang masih bingung membedakan passing pendek dengan tendangan bebas. Jangan lupa drama Elkan Baggott, kisah pemain yang tak lagi dipanggil karena konflik pribadi. Semua itu memang bahan kritik.
Namun, di Indonesia, kritik terhadap Timnas adalah dosa besar. Logika di sini sederhana, Shin Tae-yong sudah membawa Timnas ke Piala Asia, jadi dia kebal kritik. Apa pun hasilnya, STY benar, titik. Ente berani bilang sebaliknya? Bersiaplah menghadapi fans dengan kekuatan setara pasukan Avengers.
Akhirnya, Justin pergi. Meninggalkan kita dengan satu pertanyaan besar, “Mengapa diskusi tentang Timnas berubah jadi perang urat syaraf? Apakah kita terlalu cinta sepakbola, atau terlalu buta untuk menerima kenyataan?”
Ini bukan lagi tentang Justin. Ini tentang kita semua, para pecinta bola yang menganggap Garuda di dada adalah harga mati. Karena di negeri ini, mengkritik Timnas bukan sekadar opini. Ini ujian iman. Jika ente ingin mencoba seperti Justin, pastikan ente sudah menyiapkan mental baja, akun anonim, dan, kalau perlu, paspor cadangan.
#camanewak