Redaksi HATIPENA.COM
HATIPENA.COM – “Tembang Puitik” adalah istilah sejak sebelum tahun 2000-an untuk penerjemahan istilah “art song” yang berarti karya vokal yang ditulis berdasarkan teks (puisi atau prosa) dari penyair yang sudah ada. Genre ini tadinya populer dengan istilah “lagu seriosa”, dipelopori oleh Mochtar Embut dari puisi-puisi Chairil Anwar, WS Rendra, Usmar Ismail dan lainnya. Komponis lain seperti F.X. Soetopo dan Trisutji Kamal melanjutkannya, dan setelah wafatnya mereka, genre ini agak dilupakan.
Sejak zaman kuliahnya di Koninklijk Conservatorium Den Haag (Belanda) tahun 1990-an komponis Ananda Sukarlan mengangkatnya kembali dengan ratusan karyanya, dan disambut baik oleh para vokalis klasik tanah air yang seperti mendapatkan angin segar dalam repertoire untuk konser, kompetisi dan material pendidikan musik.
Beberapa di antaranya menjadi cukup dikenal publik, seperti Isyana Sarasvati, Mariska Setiawan, Pepita Salim dan muncul nama-nama baru yang baru saja memenangkan berbagai kompetisi dalam dan luar negeri.
Mariska Setiawan terlatih dalam bidang musik klasik, kelahiran dan dibesarkan di Surabaya. Ia peraih Juara ke-3 di Kompetisi “Tembang Puitik Ananda Sukarlan”, sebuah kompetisi vokal klasik nasional pada tahun 2011 saat ia baru berusia 20 tahun. Kompetisi ini didirikan oleh Amadeus Enterprise pimpinan Patrisna May Widuri di Surabaya. Sejak pandemi, pihak Ananda Sukarlan Center mengambil alih dan menggabungkannya dengan kompetisi Ananda Sukarlan Award untuk semua instrumen musik yang sudah didirikan oleh Pia Alisjahbana (pendiri Femina Group) dan Dedi Panigoro (MEDCO) sejak 2008.
Mariska jatuh cinta dengan genre Tembang Puitik sejak saat itu dan mendedikasikan sebagian besar karier musiknya untuk mempromosikan “perkawinan” sastra dan musik klasik modern Indonesia. EP “Ruang Tunggu” (‘The Waiting Room’) di spotify, amazon music dan platform lainnya merupakan pilihan tembang puitik Ananda Sukarlan dari puisi Medy Loekito dan Nanang Suryadi yang dipilih Mariska untuk dirilis dengan harapan dapat memperkenalkan puisi-puisi Indonesia modern dan musik klasik kepada khalayak yang lebih luas dan beragam. Tembang Puitik telah membawanya mengenyam pendidikan di Austria dan juga beasiswa untuk ke Broadway, New York.
Mariska telah menjadi bintang tamu utama yang populer di beberapa video kanal YouTube Kemenbud di beberapa lokasi bersejarah, seperti di Candi Prambanan, situs Majapahit di Trowulan dan Manokwari. Ini salah satunya :
Berikut bincang-bincang hatipena.com (HP) dengan Mariska Setiawan (MS).
HP : Apakah seorang Mariska Setiawan lahir di keluarga berlatar belakang pemusik? Bagaimana pertama kali berkenalan dengan musik klasik?
MS : Setahu saya tidak ada pemusik profesional di garis keluarga saya, namun saya berasal dari ayah dan ibu yang mencintai seni dengan caranya masing-masing. Ibu saya seorang arsitek yang selain menggemari musik, juga mencintai lukisan dan wastra. Sementara ayah saya adalah penggila sastra. Mungkin itu sebabnya saya begitu tertarik dengan musik klasik yang memang besar sekali keterkaitannya dengan sastra. Dua guru vokal saya yang pertama, Trifina Samderubun dan conductor Richard Samuel Awuy, adalah orang – orang yang berjasa dalam hidup saya, ngga hanya mengenalkan musik klasik pada saya yang pada saat itu masih kecil, namun juga menularkan kecintaan dan totalitas dalam menyelaminya.
HP : Apakah yang menjadi tantangan seorang penyanyi dalam ranah musik sastra?
MS : Bagi saya, tantangan yang terberat adalah melestarikan orang – orang dengan ketertarikan yang sama dalam musik sastra. Karena kita butuh sumber daya manusia dengan jumlah yang cukup apabila kita mau kesenian ini tetap eksis (apalagi berkembang) untuk waktu yang lama. Dan dengan perkembangan jaman yang semakin modern dan semakin “instan” ini, banyak orang yang nggak lagi punya ketelatenan untuk mempelajari dan mengasah skill yang “slow processed”, dan itu sangat disayangkan karena musik dan sastra itu sangat dapat memepertajam sekaligus memperluas ruang fikir kita sebagai manusia.
HP: Apa itu Studio Sangita?
MS : Studio Sangita adalah sekolah musik yang saya dirikan bersama sahabat saya Marina Nuroho B.Mus di tahun 2020 di Surabaya dan bulan ini baru resmi buka branch di Jakarta Selatan. kami percaya bahwa tonggak kemajuan itu terletak pada pendidikan, jadi kami ingin bisa berkontribusi untuk menyediakan pendidikan seni pertunjukan yang berkualitas dan accesible.
HP : Apa motivasi di balik berdirinya sekolah musik studiosangita.id & studiosangita.jkt?
MS : Saya sudah mengajar selama 14 tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk buka studio sendiri. Pengalaman ngajar secara langsung di lapangan selama bertahun2 dengan murid yg ratusan jumlahnya sudah memberikan saya experience dan feedback yg sangat valuable sebagai fondasi saya mengembangkan metode dan values saya yg unik dalam dunia pendidikan.
HP : Apa yang membedakan Studio Sangita dengan sekolah atau lembaga pendidikan lainnya?
MS : Growing up dengan belajar musik secara mainly otodidak karena ga punya kesempatan utk mengemban pendidikan formal, saya dibentuk secara langsung oleh kondisi di lapangan pekerjaan. Saya menyaksikan sendiri jenis pengajaran seperti apa yg efektif menciptakan siswa yg akhirnya bisa jatuh cinta dengan musik dan punya growth mindset dan ultimately bisa diterima oleh lapangan pekerjaan. Sebagai pekerja seni, saya merasa bertanggungjawab untuk ikut menciptakan lahan yang subur bagi pekerja seni lainnya bekerja. Jadi harapan saya ke depannya adalah agar musisi, performer, dan pekerja seni lainnya tidak lagi dipandang sebelah mata karena profesinya dianggap “hanya sekedar hiburan”. Musik dan seni pertunjukan punya peran penting dalam pendidikan dan kebudayaan, sudah seharusnya dapat sorotan yang lebih tajam.
HP : Kapan kita bisa menyaksikan konser Mariska Setiawan konser dalam waktu dekat?
MS : Saya akan konser memperdanakan karya baru Ananda Sukarlan dalam rangka hubungan budaya Australia – Indonesia tanggal 30 April nanti, di Soehanna Hall. Konser ini unik banget, karena karya baru Ananda, “Bora Ring”, adalah kombinasi berbagai latar belakang tradisi dan budaya : budaya pribumi Australia (suku Aborigin), musik klasik Barat dan sastra Australia.
“Bora Ring” sendiri adalah salah satu puisi mahakarya yang paling terkenal dari penyair, aktivis hak-hak Aborigin dan lingkungan hidup Judith Wright (1915-2000). Puisi inilah yang menginspirasi Ananda Sukarlan, walaupun di karya ini ia juga menggunakan puisi “Trapped Dingo” dan “Woman to Child”, sedangkan puisi “Bora Ring” itu sendiri menjadi nomor terakhir dari karya ini. Banyak dari puisi Judith Wright berbicara tentang tradisi Aborigin.
Karya musik ini adalah untuk 2 pemusik pribumi Australia, string quartet dan piano yang dimainkan Ananda Sukarlan sendiri. Kuartet geseknya adalah teman-teman dari G20 Orchestra, dimana kami pentas pertama kalinya untuk Konferensi Para Menteri Kebudayaan negara-negara G20 di Candi Borobudur saat Indonesia menjadi tuan rumah G20, tahun 2022. Sebuah pagelaran epic yang buat saya personally memorable banget, dan saya sangat excited bisa konser mereka lagi.
Di tahun 2022 itu G20 Orchestra yang beranggotakan para musisi muda di bawah 30 tahun dari 20 negara anggota G20 mempagelarkan karya Ananda, “The Voyage to Marege’ “, dan bisa dibilang “Bora Ring” ini adalah sequel-nya.
Di konser 30 April nanti saya bersama Ananda Sukarlan juga menyanyikan dua tembang puitik Ananda, yaitu “Dari Duka Masa Lalu” dari puisi Sihar Ramses Simatupang, dan “Aku Cinta Pada-mu (8)” dari puisi Doddi Ahmad Fauji. (*)