Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
SAYA kira tak ada media berani beritakan demo mahasiswa. Rupanya, ada. Kebetulan saya menonton siaran ulang demo mahasiswa di Kompastv tadi malam. Demo menolak PPN 12 persen dan mendesak Prabowo keluarkan Perppu.
Mereka berdiri. Tegap. Di bawah langit yang gelap, hujan jatuh seperti protes dari langit. Di depan Patung Kuda, para mahasiswa menggenggam megafon seperti senjata terakhir mereka. Suaranya lantang, meski terkadang tenggelam dalam suara sirine dan gemuruh water cannon.
“Tolak PPN 12 persen!” teriak mereka. Berulang kali. Sampai suara mereka hampir habis. Sampai tubuh mereka basah kuyup. Tapi mereka tidak peduli.
Sementara itu, di ruang-ruang ber-AC, para pembuat kebijakan mungkin sedang tertawa kecil. “Oh, mereka demo lagi? Jangan lupa kirim water cannon.” Seolah para mahasiswa ini hanya sekumpulan anak muda bosan yang butuh hiburan baru.
Ketika yang lain sibuk selfie di pantai, menikmati liburan akhir tahun, para mahasiswa memilih jalan berbeda. Jalan basah. Jalan berlumpur. Jalan penuh risiko. Apakah ini keberanian? Kebodohan? Atau keduanya?
Polisi datang. Awalnya negosiasi. Namun, waktu semakin malam. Mereka punya cara lebih efektif untuk membungkam, air bertekanan tinggi. Siram kiri, siram kanan. Para mahasiswa terhuyung, tapi tidak menyerah. Mereka mundur hanya untuk maju lagi. “Kalau mau demo, datang lagi besok pagi,” sindir polisi.
Begitulah. Demo selesai. Mahasiswa bubar. Tapi apakah ini akhir? Atau hanya jeda?
Hujan berhenti. Jalanan kembali tenang. Tapi semangat juang mahasiswa itu, siapa yang tahu? Mungkin besok mereka akan kembali. Mungkin dengan suara yang lebih lantang. Mungkin dengan perlawanan yang lebih keras. Atau mungkin mereka akan menyerah. Karena toh, siapa yang peduli?
Tetapi, mari kita akui, ada sesuatu yang heroik dalam aksi ini. Berteriak di bawah hujan, melawan sistem yang tidak peduli, meminta keadilan pada telinga yang tuli. Apakah mereka akan menang? Mungkin tidak. Tetapi keberanian itu, meski naif, adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli.
Malam itu, Jakarta menyaksikan lagi sebuah adegan klasik, idealisme versus realitas. Seperti biasa, realitas menang. Tapi siapa tahu? Mungkin, hanya mungkin, idealisme ini akan menang lain kali. Jika tidak, setidaknya mereka pernah mencoba. Itu saja sudah lebih dari cukup.
#camanewak