Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Di antara hamparan gurun Arabia yang membara, ketika matahari menggantung bagaikan lentera murka di langit Tuhan, berdirilah satu-satunya utusan dari tanah lembab khatulistiwa, Timnas Indonesia U1. Bagai ksatria tanpa nama yang tak diundang ke pesta para bangsawan, namun pulang membawa takhta.
Di langit padang pasir itu, tak ada nyanyian untuk Thailand, Vietnam, atau Australia. Hanya senyap, dan suara langkah pulang para pecundang yang menutupi wajah dengan sorban kebingungan. Mereka datang ke Piala Asia U17 2025 dengan jubah keangkuhan yang dijahit dari benang peringkat FIFA. Angka-angka yang mereka anggap mantra kekuasaan, namun ternyata hanyalah sulaman mimpi yang meleleh oleh panas kenyataan.
Thailand, sang “raja ASEAN”, yang kerap berpidato di podium kekuasaan regional, kini tersungkur dalam genangan air mata sendiri. Tiga kali berlaga, tiga kali dihajar. Tiada satu pun poin mereka kantongi. Seolah dewi keberuntungan pun enggan menyapa. Raja macam apa yang datang ke perang tanpa pedang, hanya membawa cermin untuk memuja diri? Mereka pulang sebagai dongeng pahit, dicatat bukan karena kemenangan, melainkan karena menjadi peringatan.
Vietnam, saudara tua yang gemar melirik ke selatan sambil menggumam, “Kami lebih disiplin, kami lebih modern.” Di Grup B, mereka mengharapkan jalan setapak menuju kejayaan. Namun, jalan itu berubah menjadi lorong sunyi, tertutup hasil seri tak berguna melawan Uni Emirat Arab. Nguyen berdiri di tepi gerbang, mengetuk-ngetuk, tapi gerbang tak pernah terbuka. Kini mereka menulis laporan panjang berjudul “Pembangunan Jangka Panjang”, sambil menutup rapat halaman yang berisi hasil grup mereka. Lembar yang tak ingin mereka baca ulang.
Australia, sang penyusup elegan dari selatan, datang dengan lambang peringkat FIFA 26 tertempel di dada. Seolah itu paspor untuk masuk ke langit kemenangan. Mereka berlari dengan sepatu berbahan teknologi tinggi. Tubuh mereka dibentuk dari susu skim dan protein kalkulasi gizi. Tapi sayang, bukan angka yang memenangkan pertandingan. Mereka kalah head-to-head dari Uni Emirat Arab, dan pulang dengan koper berisi analisis dan air mata. Peringkat mereka tinggi, tapi nilai mereka di padang ini, nol. Mungkin sepak bola di negeri kangguru hanyalah pengisi waktu senggang antara musim cricket dan surfing.
Dari antara reruntuhan istana para juara palsu, berdirilah Indonesia. Tim peringkat 123 FIFA, yang selama ini dihitung hanya sebagai angka penggembira di daftar undangan. Tapi mereka datang dengan sesuatu yang tak bisa dihitung algoritma, keberanian, kenekatan, dan tekad yang dibumbui penderitaan sejarah.
Mereka melibas Korea Selatan 1-0, menuliskan puisi kemerdekaan di atas wajah para samurai digital dari Timur. Mereka menghajar Yaman 4-1, seolah badai datang dari selatan dan menyapu kota pasir. Mereka mematahkan perlawanan Afghanistan 2-0, dengan ketenangan seorang pertapa yang telah lama menanti waktu berbicara.
Kini, Indonesia berdiri sendirian. Bukan karena tak punya kawan, tapi karena kawan-kawannya semua gugur oleh kelalaiannya sendiri.
Di saat Thailand menyulam mimpi dari sisa-sisa ego, Vietnam menggali alasan dari lubang statistik, dan Australia menggulung bendera untuk kembali ke benua yang tak mengerti gurun Arab, Indonesia justru melangkah ke Piala Dunia U17 2025 dengan langkah yang sederhana namun tak tergoyahkan.
Mereka bukan tim yang ditunggu, tapi mereka adalah jawaban dari pertanyaan yang tak pernah diajukan. Mereka bukan naga bersayap emas, tapi mereka adalah garuda yang terbang tanpa diramal. Seperti dalam hikayat silat tua yang dilantunkan oleh Kakek dari Gunung Semeru, kadang, jurus paling mematikan bukan berasal dari kitab, melainkan dari hati yang terlalu lama diremehkan.
Biarlah Thailand, Vietnam, dan Australia menulis epos tentang rencana jangka panjang. Indonesia tak butuh rencana besar. Indonesia hanya butuh satu hal, kepercayaan bahwa bahkan dari peringkat 123, bisa lahir babak baru sejarah sepak bola Asia. Sebab, langit tidak bertanya dari mana engkau datang, hanya melihat sejauh mana engkau melompat. (*)
#camanewak