HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Demokrasi di Tangan Lembaga yang Gagap Verifikasi

April 14, 2025 16:42
IMG_20250414_164049

Bagindo Muhammad Ishak Fahmi

Kaba “Catuih Ambuih”

HATIPENA.COM – Kasus dugaan ijazah palsu yang melibatkan mantan Presiden Joko Widodo mengguncang fondasi kepercayaan publik terhadap demokrasi kita. Ini bukan sekadar polemik legalitas dokumen, melainkan cermin retaknya sistem verifikasi yang seharusnya menjadi benteng awal dalam seleksi pemimpin negeri.

Kita telah berulang kali menyaksikan bagaimana sengketa keabsahan ijazah para calon kepala daerah maupun calon legislatif diseret ke ruang sidang, bahkan setelah proses pemungutan dan penghitungan suara rampung. Ini menandakan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai lembaga yang diberi amanah konstitusi untuk menjamin kredibilitas pemilu, masih lemah dalam menjalankan fungsi verifikasi administratif secara profesional dan akuntabel.

Total Kasus Dugaan Ijazah Palsu dalam Pemilu/Pilkada (2004–2024):
Sedikitnya 100 kasus, dengan sejumlah kasus berujung vonis pengadilan.

Sebaran Wilayah Kasus:

Sumatera Selatan (2004): 46 kasus caleg, 6 divonis.

Nasional (2019): 34 kasus pidana pemilu (mayoritas pemalsuan dokumen).

Nasional (2024): 17 kasus pidana pemilu, 7 terkait ijazah palsu, 4 divonis.

Mamuju Tengah (2024): 1 kasus, calon bupati dan anggota KPU divonis.

Buton (2024): 1 kasus, cawabup dilaporkan ke Bawaslu.

Dompu (2024): 1 caleg DPRD terpilih dilaporkan.

Lombok Tengah (2024): 1 caleg DPRD terpilih dilaporkan.

Tana Tidung (2024): 1 caleg DPRD terpilih dilaporkan.

(Data kemungkinan lebih besar mengingat belum adanya rekap nasional yang terintegrasi. Banyak kasus muncul di tingkat lokal dan hanya sebagian yang sampai ke pengadilan atau diliput media).

Mengapa hal ini terus terjadi?

Alih-alih membangun sistem konfirmasi dan validasi yang terukur dan berani, KPU sering kali seperti terjebak dalam pola administratif pasif. Verifikasi dianggap sekadar rutinitas formalitas, bukan sebagai proses krusial untuk menjaga integritas demokrasi. Ketika masyarakat mempertanyakan legalitas dokumen calon, respons KPU sering kali mengarah pada frasa klise: “Jika ada dugaan, silakan gugat ke pengadilan.” Dengan kata lain, KPU justru menyerahkan tanggung jawab etis dan legalitas kepada ruang sidang—seolah lembaga ini hanya menjadi panitia teknis, bukan penjamin legitimasi demokrasi.

Trust Deficit di Era Demokrasi Representatif

Menurut Dr. Imam Budiman, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, kasus-kasus semacam ini secara perlahan tapi pasti merobek “social trust” terhadap lembaga demokrasi. “Ketika masyarakat merasa bahwa penyaringan calon pemimpin diserahkan pada sistem yang longgar dan penuh celah, maka kepercayaan terhadap hasil pemilu akan semakin menipis. Demokrasi berubah menjadi sekadar pertunjukan prosedural tanpa nilai kejujuran dan integritas,” ujarnya.

Lebih jauh, dalam masyarakat yang sudah terpolarisasi oleh kepentingan politik, kegagalan KPU dalam melakukan verifikasi administratif membuka ruang bagi lahirnya hoaks, fitnah, dan konflik horizontal. Akibatnya, demokrasi kehilangan makna deliberatifnya—dialog dan akal sehat tergantikan oleh sentimen dan kekacauan.

Tanggung Jawab yang Tak Bisa Didelagasikan

Dalam konteks hukum, Prof. Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara, menyampaikan bahwa tanggung jawab KPU tidak bisa dianggap remeh dalam proses pencalonan. “Verifikasi keabsahan syarat pencalonan, termasuk ijazah, adalah tanggung jawab melekat. Bila terbukti lalai, maka bukan hanya integritas pemilu yang tercoreng, melainkan juga legalitas hasilnya dapat dipertanyakan secara fundamental,” katanya.

Menurutnya, KPU bisa saja diperiksa dan bahkan dituntut secara hukum jika kelalaian tersebut disengaja atau terjadi secara sistemik. Dalam hukum administrasi negara, ada prinsip negligent liability—yakni kelalaian institusional yang menyebabkan kerugian negara atau publik.

Apa yang Harus Dilakukan KPU?

  1. Membangun Sistem Verifikasi Digital Terintegrasi: KPU harus bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan lembaga pendidikan tinggi untuk mengakses dan memverifikasi data akademik secara real-time dan digital, bukan berdasarkan salinan ijazah saja.
  2. Menetapkan Sanksi Internal untuk Kelalaian: Perlu ada mekanisme akuntabilitas internal. Setiap level dalam struktur KPU harus bertanggung jawab atas hasil verifikasi yang dilakukan, termasuk potensi sanksi etik dan administratif.
  3. Transparansi Proses Administrasi Calon: Setiap dokumen administratif calon seharusnya dapat diakses publik selama masa verifikasi. Dengan partisipasi publik, KPU bisa memperoleh second opinion yang lebih kritis dan luas.
  4. Pendidikan Politik kepada Masyarakat: Pemilih harus didorong untuk lebih kritis terhadap rekam jejak dan legalitas calon. Demokrasi yang sehat hanya lahir dari rakyat yang cerdas dan sadar akan hak-haknya.

Demokrasi Bukan Sekadar Suara, Tapi Proses

Jika dugaan ijazah palsu seorang mantan presiden terbukti, ini bukan sekadar aib personal. Ini luka kolektif bangsa. Sebab kita telah membiarkan sistem berkompromi dengan ketidakbenaran sejak dari hulu. Maka pertanyaannya bukan hanya tentang siapa yang salah, tetapi mengapa kita membiarkan sistem ini terus berjalan dalam gelap?

Kita butuh demokrasi yang tidak hanya mengagungkan hasil, tapi juga menjunjung proses. Jika KPU tidak segera berbenah, maka ia sedang memperbesar lubang kegagalan demokrasi Indonesia di masa depan. (*)

Padang, 4/2025

Sumber Data:
Detik News
Tirto.id
Kilassulbar.id
Satulis.com
Kompas Regional
Fokusborneo.com
Bisnis.com
MKRI.id
Marwahkepri.com
Kompas Nasional