Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Kalah 0-6, Sebuah Drama Tragikomedi Sepak Bola Nasional

April 15, 2025 20:11
Timnas vs Korut jelang pertandingan (Foto: Tangkapan Layar)
Timnas vs Korut jelang pertandingan (Foto: Tangkapan Layar)

Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung

HATIPENA.COM – Hari ini sayur pare kegemaranku seakan-akan ikut meratapi skor semalam – pahitnya melebihi kekalahan telak 0-6 dari Korea Utara. Otakku pun bekerja lambat, bukan karena kurang tidur, tapi karena kekalahan, seperti mimpi buruk yang tertinggal di dunia nyata.

Kekalahan Timnas U-17 dari Korea Utara dengan skor 0-6 adalah tontonan yang tragis, namun sayangnya bukan yang mengejutkan. Dalam lakon sepak bola Asia, kita kembali mengambil peran sebagai figuran yang gugur di babak awal dengan penuh gaya kebingungan, gaya tanpa koordinasi, dan tentu saja, gaya pulang lebih cepat.

Sepak bola memang permainan 11 lawan 11, tetapi terkadang terasa seperti 11 melawan diri sendiri. Pada malam yang kelam itu, Timnas kita tampak seperti sekelompok orang yang baru pertama kali bertemu di lapangan parkir dan diminta memainkan laga internasional.

Korea Utara, negara yang lebih dikenal dunia karena kedisiplinannya yang ekstrem, membantai kita tanpa ampun. Tidak perlu nuklir, cukup enam gol saja untuk menunjukkan bahwa mereka lebih siap dalam segala aspek – mulai dari strategi, stamina, hingga cara menghargai bola sebagai alat perjuangan, bukan sekadar benda yang ditendang-tendang, lari sana lari sini, sambil menunggu peluit usai.

Menang melawan Korea Selatan 1-0 sempat dianggap sebagai pencapaian besar. Tapi mari jujur, skor itu tak lepas dari faktor keberuntungan. Sebab jika wasit tak mengesahkan penalti akibat handball pemain lawan, mungkin ceritanya berbeda. Laga melawan Bahrain juga hanya dimenangkan dengan skor tipis – yang seharusnya menyadarkan kita bahwa tim ini belum benar-benar solid, hanya sedang diselimuti euforia sesaat.

Penguasaan bola kita semalam hanya 28,9 persen – angka yang lebih cocok dijadikan pajak impor Presiden Trump (yang terkenal mengenakan tarif 32 persen). Sayangnya, ini bukan perang dagang, tapi laga sepak bola, dan kita tampak seperti negara yang tak punya daya tawar.

Statistik lainnya pun sama menyedihkan. Indonesia hanya mencatatkan tiga tendangan, dan hanya satu yang tepat sasaran – itu pun mungkin lebih karena niat baik semesta daripada hasil taktik. Sementara Korea Utara melepaskan 15 tembakan, dengan enam tepat mengarah ke gawang. Kita bahkan tak memperoleh satu pun sepak pojok, seperti tamu undangan yang tidak diberi kesempatan bicara, sementara Korea Utara pesta dengan sembilan sepak pojok.

Distribusi umpan pun memperlihatkan jurang kualitas. Indonesia mencatatkan 274 umpan dengan akurasi 71,9 persen – angka yang kalau diuji di kelas bisa jadi hanya cukup untuk remedial. Sementara Korea Utara mencatatkan 627 umpan dengan akurasi 87,4 persen. Mereka tidak hanya bermain bola, mereka sedang menunjukkan koreografi terlatih, sedangkan kita seperti sedang joget dangdut yang liar dengan goyang jempolnya.

Ada yang bilang ini proses. Tapi kalau prosesnya begini terus sejak zaman orde baru, barangkali yang kita maksud sebenarnya adalah proses pelupaan bagaimana membina, lupa bagaimana bermain sebagai tim, dan yang paling penting, lupa malu.

Kita tidak kekurangan talenta, hanya terlalu sering mengorbankan mereka demi eksperimen instan. Lalu ketika kalah, kita menggelar konferensi pers penuh kalimat penghibur, seolah-olah publik ini anak-anak TK yang harus diberi cilok agar berhenti menangis. (*)

Bandarlampung, 15 April 2025

#makdacokpedom