(Diadaptasi dari puisi esai karya L. K. Ara)
Kalanareh, Maret 2025
⸻
Penampilan:
Satu orang di atas panggung. Bisa laki-laki atau perempuan.
Berbusana sederhana: kemeja kusut, kain sarung, atau baju lapangan.
Membawa bendera kecil dan sebungkus nasi bungkus.
Panggung boleh sederhana—cukup bangku kayu, radio tua, dan lampu temaram.
⸻
[Lampu menyala perlahan. Tokoh masuk pelan. Duduk. Menatap penonton.]
Tanah airku…
engkau bukan lagi Ibu Pertiwi.
Kini kau seperti tante pemilik biro jasa—
yang menyewakan tanah,
menjual udara,
dan menyisakan air mata
di menu subsidi yang hambar.
Kami dulu belajar dari lagu wajib.
Ibu menyanyikannya,
sambil menanak nasi
di dapur berjelaga.
(tarik napas)
Sekarang,
anak-anak kami lebih hafal slogan
daripada makna.
Mereka potret kehancuran—
untuk konten edukasi.
(buka nasi bungkus, tak dimakan)
Bendera masih dikibarkan.
Tapi warnanya pudar—
oleh tender,
oleh komisi.
Merdeka, katanya…
Padahal kami disuruh antre sembako,
sambil tersenyum
di kamera kampanye.
Angin membawa bau tepung murah,
dan janji—
yang cepat basi.
(diam. berdiri perlahan. bergerak ke sisi panggung)
Lihat gedung-gedung tinggi itu—
berkilau seperti pagi setelah hujan.
Tapi dalamnya…
bukan suara cendekia,
melainkan dengung mesin pencetak data palsu.
Tawa yang menghapus bukti
lebih cepat dari tinta printer kantor.
Tikus di gudang padi?
Itu cerita zaman dulu.
Sekarang tikus pakai dasi.
Duduk manis di komisi pengawas pangan.
Mereka memutuskan
siapa yang boleh lapar,
dan siapa yang kenyang
hingga tak sempat bersyukur.
Kami pernah percaya pada hukum,
seperti anak percaya dongeng ayahnya.
Tapi kini—
jaksa dan hakim
bermain sepak bola dengan pasal-pasal.
Dan VAR-nya…
disponsori oleh fee proyek
yang masih hangat.
(duduk di tanah, tangan menggambar-gambar)
Anak cucu kami
bermain monopoli dengan uang palsu.
Karena yang asli terlalu mahal,
dan terlalu licin—
selalu jatuh ke kantong yang sama.
Seperti hujan
yang hanya membasahi
atap seng para pemburu proyek.
(tatap ke kejauhan)
Tersebutlah… Sungai Pesangan.
Airnya ingin membasuh yang kotor.
Membawa sabda dari Gayo.
Tapi sekarang—
dicegat beton,
dikepung limbah,
disumpal kebijakan darurat
yang tak pernah darurat.
Kami duduk di warung kopi,
menyesap pagi yang getir.
Radio tua memutar kabar
tentang harga beras
dan janji stabilitas.
Tanah air ini sebenarnya manis—
seperti nira yang ditadah kakek kami dulu.
Tapi kini ia dicelup terlalu lama
ke dalam teh kecurangan.
Yang diseruput
sambil berpose
di panggung seremoni.
Kami tidak butuh lagi orasi.
Cukup… satu pagi.
Di mana anak-anak bisa pergi ke sekolah
tanpa harus melihat ibunya
ditagih utang koperasi
oleh petugas
yang tersenyum… sopan sekali.
(hening panjang)
Kelak,
jika puisi ini dianggap nyinyir,
biarlah.
Karena luka yang diam
hanya akan jadi bisul sejarah.
Dan di tebing Bur Mesir nanti,
akan kami pahat bait ini:
“Di sini dulu kami tinggal—
di antara janji yang dikhianati,
dan harapan yang dibungkus
plastik proyek.”
(cahaya perlahan memutih—fajar. tokoh tersenyum tipis.)
Namun kami belum padam sepenuhnya.
Di balik nyala lampu yang sering mati,
masih ada pelita kecil—
di rumah-rumah papan
yang menanak doa
dalam periuk kesabaran.
Langit fajar masih membisikkan kabut.
Burung-burung tetap pulang,
meski ranting pohon disisakan ruko.
Kami percaya—
dalam tiap hela napas bumi,
ada suara leluhur
yang belum mau pergi.
Di surau tua yang tak lagi penuh,
ada suara lirih anak kampung
mengaji…
bukan demi lomba,
tapi agar namanya dicatat langit,
bukan daftar pemilih sementara.
Kami tahu,
tak semua hal bisa kami ubah.
Tapi setiap pagi—
kami tetap menyiram pohon harapan,
meski musim… kerap salah janji.
(angkat bendera kecil, letakkan di dada)
Karena tanah air
bukan sekadar republik.
Ia adalah tubuh ibu.
Yang tetap kami peluk,
meski penuh luka…
dan bekas jahitan.
(Lampu perlahan padam. Sunyi. Hening. Tirai turun.)