Oleh: Wahyudi & M.Taufik
Alumnus 3C SMP N 1 Bangil 1983
HATIPENA.COM – Di antara ribuan alumni SMP Negeri 1 yang sudah menyebar ke berbagai penjuru kota dan dunia, ada satu nama yang jadi semacam jembatan digital—Gus Taufik, alumni kelas 3C tahun 1983.
Bukan artis, bukan pejabat viral, tapi siapa pun alumni yang pernah satu angkatan pasti tahu siapa beliau. Bukan karena gaya, tapi karena daya. Gus Taufik itu tipikal orang yang nggak banyak gaya, tapi diam-diam banyak karya. Sederhana banget. Suka pakai kaos polos dan sandal jepit, tapi isi kepalanya kayak server silaturahmi—aktif 24 jam nonstop.
Di tangan beliau, grup alumni yang tadinya cuma formalitas, pelan-pelan hidup lagi. Obrolan tentang kenangan jajan pentol di kantin belakang, cerita bolos demi nonton Piala Dunia, sampai perdebatan soal siapa juara catur kelas dulu—semua muncul karena dia suka ‘lempar umpan’.
“Siapa yang dulu sering kalah catur sama aku, ayo ngaku!”
Itu kalimat pancingannya. Dan boom—grup langsung rame.
Ya, Gus Taufik memang jago catur, bukan cuma di papan, tapi juga dalam hidup. Ia tahu kapan harus bertahan, kapan menyerang, dan kapan mundur elegan. Itu pula yang bikin dia jadi pengajar sekaligus panutan. Bukan cuma ngajarin rumus atau teori, tapi juga ngajarin gimana tetap tegak meski diterjang badai hidup.
Sekarang, di usianya yang makin matang, Gus Taufik punya hobi baru yang nggak kalah keren—melakukan penelitian dan menulis. Banyak waktunya dihabiskan untuk merangkai gagasan, mencatat data, dan menulis artikel yang kadang disisipkan dalam obrolan santai alumni. Ia percaya bahwa ilmu yang ditulis itu akan terus hidup, bahkan ketika fisik sudah tak lagi aktif. Dalam diamnya, ia produktif. Dalam sibuknya, ia tetap menyempatkan diri menyapa kawan lama.
Tak heran, sampai hari ini, sudah ada 8 buku yang beliau tulis, semuanya lahir dari semangat menggali sejarah, menggugah pemikiran, dan memperkuat nilai-nilai perjuangan. Beberapa judul bukunya yang menonjol antara lain:
Pondok Gondang: Penerus Perjuangan Sang Pangeran,
PP SPM Mencengkram Dunia, dan yang terbaru,
A. Hassan: Mutiara dari Timur, sebuah karya mendalam tentang kontribusi A. Hassan dalam pembaruan Islam di Indonesia.
Karya-karya ini bukan hanya ditulis, tapi juga ditenun dengan cinta, riset yang matang, dan niat tulus untuk mencerdaskan.
Beliau juga nggak gengsi ngajakin alumni yang udah lama menghilang untuk balik nongol.
“Ngopi yuk, bahas rencana reuni.”
Padahal ngopinya cuma teh tawar dan pisang goreng, tapi obrolannya bikin hati hangat dan grup makin kompak.
Satu hal yang selalu beliau ulang:
“Silaturahmi itu bukan cuma nostalgia, tapi napas panjang buat kebersamaan. Nggak bisa dibeli, nggak bisa diganti.”
Dan dalam banyak kesempatan, beliau sering mengutip para ulama dunia seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah yang berkata:
“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini tanpa silaturahmi, karena dengannya hati menjadi lembut dan rahmat Allah turun.” (lihat Al-Wabil al-Shayyib)
Sekarang, berkat Gus Taufik, silaturahmi alumni 3C ‘83 nggak cuma hidup, tapi hidup banget. Banyak yang saling bantu, saling doain, bahkan saling ngasih peluang usaha. Semua karena satu orang yang mau jadi penghubung—dengan hati yang lapang, pena yang terus menulis, dan langkah yang tenang.
Semoga setiap jari yang ngetik pesan silaturahmi, setiap niat baik yang ditularkan lewat grup, dan setiap waktu yang diluangkan Gus Taufik—dibalas Allah SWT dengan kebaikan berlipat ganda.
Dan semoga, silaturahmi ini jadi berkah buat kita semua.
Karena terkadang, yang paling berharga dari masa lalu… adalah teman-teman yang masih mau saling menyapa hingga hari ini. (*)
Semoga berkah semua.
#menulis40cerpen Cerpen ke 37