‘Catatan Cak AT
HATIPENA.COM – Ah, “Jumbo”! Film animasi Indonesia yang bukan hanya mengguncang bioskop, tapi juga menggoyang persepsi publik tentang profesi animator —yang selama ini disangka cuma jago bikin transisi PowerPoint. Dalam 20 hari sejak penayangannya, Jumbo berhasil meraih lima juta penonton.
Dengan asumsi harga tiket rata-rata Rp40.000 (catatan: ini bukan harga popcorn, yang sekarang selevel cicilan motor), berarti Jumbo sudah meraup sekitar Rp200 miliar. Ini melampaui pencapaian rekor yang sebelumnya dipegang film animasi komedi laga dari Malaysia, Mechamato Movie yang mendapatkan Rp122,9 miliar pada 2022.
Capaian tadi membuat Jumbo saat ini menjadi film animasi terlaris Indonesia sepanjang masa. Film karya Visinema Studios ini juga sudah menasbihkan diri sebagai film animasi terlaris se-Asia Tenggara. Jumbo sampai hari ini masih tayang di bioskop-bioskop di Indonesia.
Namun, perlu diluruskan dulu: bikin film animasi itu tidak semudah mengganti filter Instagram. Produksi Jumbo memakan waktu sekitar tiga tahun —dalam istilah rakyat pekerja kreatif: “tiga tahun tanpa libur Lebaran.” Kok lama banget? Apa yang bikin lama?
Jawabannya: rendering. Untuk yang awam, ini proses di mana komputer mengubah ribuan gambar yang dibuat dengan penuh cinta dan sisa-sisa kopi sachet menjadi adegan animasi yang mulus. Tapi bagi animator, rendering adalah proses yang lebih menyakitkan dari chat dibaca tapi tidak dibalas.
Visinema Studios, studio di balik Jumbo, menyewa render farm. Biayanya? Sekitar Rp500 juta, demi memastikan gajah besar ini bisa berjalan, menari, dan berkedip tanpa lag. Render farm itu semacam warung nasi Padang digital —semua tersedia, asal ada uangnya. Dan percayalah, rendering yang bagus lebih sulit dari mengatur jadwal syuting dengan aktor yang juga selebgram.
Nah, kini kita intip tetangga sebelah. Film Ne Zha 2 dari Tiongkok tak main-main. Dikerjakan selama lima tahun, melibatkan 4.000 animator dari 138 perusahaan, dikerjakan dengan 20.000 server, dengan bujet mencapai 600 juta yuan (sekitar Rp1,3 triliun).
Kalau mau dibanding-bandingkan, Jumbo tak ubahnya seperti anak kos ambisius yang ngedit pakai laptop sambil ngecas, sementara Ne Zha 2 seperti anak konglomerat bikin animasi pakai superkomputer NASA sambil makan buah naga organik.
Secara teknis, Ne Zha 2 memang lebih megah —lebih halus, lebih detail, dan lebih banyak api daripada ulang tahun bocah TK. Tapi cerita Jumbo unggul dalam akar lokal: anak besar yang suka dongeng, dibully, lalu bertemu peri mungil yang—spoiler alert—tidak punya cicilan rumah.
Nilai moral yang disampaikan Jumbo cukup kuat, hangat, dan bisa dinikmati segala usia. Di sisi lain, Ne Zha 2 adalah kisah dewa api yang bakar-bakaran dan… ya, agak membingungkan kalau belum sempat baca kitab mitologi Tiongkok.
Kritik? Pasti ada. Misalnya, kenapa belum ada merchandise resmi Jumbo yang dijual massal? (Editor: kami butuh boneka Meri, sekarang juga!) Atau kenapa banyak sinema daerah belum memutar film ini? Tapi satu hal sudah jelas: gajah pun bisa terbang, asal dirender dengan cinta dan server mahal.
Dan kalau ada yang bilang, “Ngapain sih nonton kartun lokal?”, jawablah: “Karena ini bukan sekadar kartun. Ini animasi. Dan animasi itu kerja keras, bukan cuma lucu-lucuan.” Lebih dari itu, Jumbo membuat kita bangga di tengah banyak keterpurukan bangsa.
Kesuksesan Jumbo mestinya jadi momen emas bagi animasi Indonesia. Ini bukti bahwa kita bisa bikin animasi berkualitas dengan cerita menyentuh, meskipun dengan bujet dan alat tempur yang jauh dari studio raksasa luar negeri.
Tapi jangan cepat puas —kalau tidak mau Jumbo jadi one hit wonder, kita perlu ekosistem industri animasi yang sehat: dari pendidikan, pendanaan, hingga distribusi. Atau, dalam bahasa jujur: hal-hal yang bikin animator kita bisa hidup, bukan sekadar bertahan dengan mie instan dan mimpi.
Ekosistem ini bukan cuma soal rendering dan komputer mahal, tapi mencakup seluruh rantai kehidupan animasi: dari hulu (pendidikan dan pelatihan), tengah (produksi dan pendanaan), hingga hilir (distribusi, eksibisi, dan pasar). Lalu, siapa yang harus membangun ini?
Negara? Ya, tentu. Tapi negara yang mana dulu.
Mari bicara tentang PFN (Perum Produksi Film Negara). Sering disebut sebagai “harapan terakhir sinema nasional” —semacam Obi-Wan Kenobi industri perfilman. Tapi sejauh ini, PFN masih lebih dikenal karena sejarahnya ketimbang kiprahnya saat ini.
Dan Jumbo jelas bukan produksi PFN. Tapi film ini seharusnya jadi inspirasi: bahwa PFN bisa berperan sebagai inkubator animasi nasional.
PFN bisa —dan seharusnya— menyediakan dana pengembangan (development fund), fasilitas render farm nasional (karena tidak semua animator bisa sewa server seharga mobil bekas), serta peran dalam distribusi dan diplomasi film ke luar negeri. Karena kita bukan hanya eksportir Tiktokers berbakat.
Swasta juga ikut membangun? Tentu bisa. Bahkan sudah terbukti. Tapi…
Studio seperti Visinema telah membuktikan bahwa swasta mampu bikin karya besar. Tapi tidak semua studio bisa seperti Visinema. Banyak studio lokal hidup di bawah garis maya —alias garis kemiskinan digital. Mereka mengandalkan proyek outsource dari luar negeri, bayarannya kecil, dan hampir mustahil mandiri.
Kalau swasta disuruh membangun ekosistem sendirian, itu seperti menyuruh pemilik warung nasi uduk bangun supermarket. Perlu kolaborasi. Lantas, apa solusinya?
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus masuk. Bukan cuma bikin lomba gambar anak SD, tapi benar-benar menjadikan animasi bagian dari kurikulum vokasi dan pendidikan tinggi.
BUMN seperti PFN bisa membuka studio bersama (co-production studio) dan inkubator animasi nasional. Tidak perlu muluk-muluk, cukup membantu studio kecil naik kelas.
Investor swasta harus diberi insentif pajak jika menanam modal di industri animasi. Tolong ya, jangan hanya sawit dan tambang yang dapat karpet merah.
Dan yang paling penting: pemerintah harus berhenti melihat animasi sebagai hiburan anak-anak. Ini industri serius, dengan potensi ekspor, pariwisata, dan diplomasi budaya.
Bayangkan kalau kita punya sepuluh film seperti Jumbo setiap tahun. Kita bukan hanya menyaingi Ne Zha, tapi bisa memimpin renaissance animasi Asia Tenggara.
Dan siapa tahu, film Indonesia bisa tayang di bioskop Tokyo, Berlin, hingga bioskop kecil di Norwegia yang lebih kenal Frozen daripada peta ASEAN.
Karena itu, kalau gajah bernama Jumbo saja bisa terbang, masa industri animasi kita terus merangkak? (*)
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 20/4/2025