Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Kesaksian Pramuka Gudep 211 Untuk Generasi Muda

April 20, 2025 08:49
IMG-20250420-WA0034

Oleh : Widodo dan M.Taufik
Alumnus Gudep 211 SMP N 1 Bangil 1983

HATIPENA.COM – Di balik senyumnya yang khas dan rambut keritingnya yang masih setia sejak remaja, Widodo menyimpan sejuta kisah yang tak semua orang tahu. Ia bukan tokoh dalam buku sejarah, tapi bagi rekan-rekannya di Gudep Pramuka 211 dan 212, nama Widodo adalah legenda hidup. Dari kampung halamannya di Banyuwangi hingga hiruk pikuk ibu kota, jejak langkahnya mengisahkan keberanian, kelicikan khas remaja, dan pelajaran hidup yang mengakar dalam.

Widodo, si anak stasiun — begitulah teman-temannya menyebutnya. Rumahnya hanya 200 meter dari SMP Negeri 1 Bangil, bersebelahan dengan rel kereta api yang nyaring setiap pagi. Di sekolah, ia dikenal sebagai siswa yang “berjiwa bebas”, kerap bolos saat pelajaran tak sesuai selera. Tapi siapa sangka, anak yang gemar menghindar dari kelas ini justru mendaftar lebih dulu untuk ikut kegiatan Pramuka — bahkan mengalahkan Ketua Regu Gajah sendiri, Kadar.

“Waktu itu aku nggak rajin latihan. Tapi begitu denger mau camping di Pasir Putih, langsung daftar. Aku urutan nomor dua,” kata Widodo sambil tertawa mengenang masa SMP-nya.

Perkemahan di Pasir Putih, Situbondo, adalah titik balik. Tenda-tenda berdiri rapi di tepian pantai, hujan menyapa sejak hari kedua. Kala pagi menjelang dan udara dingin menggigit, Widodo terbangun dengan rasa aneh di punggung. Saat tikar digulung, seekor ular telah mati terjepit di bawah tubuhnya.

“Mungkin semalam aku tindih. Kalau dia masih hidup, mungkin aku udah digigit. Tapi Allah masih ngasih umur,” ujarnya serius.

Setelah tugas belanja ke pasar ikan selesai, ia bersama teman-teman bersiap mengikuti kegiatan pencarian jejak. Gunung Putri, yang menjulang di seberang pantai, menjadi arena petualangan berikutnya. Tiga regu dilebur jadi dua kelompok besar. Widodo termasuk dalam kelompok yang dipimpin Kak Jiping. Tapi alih-alih menyusuri jalur resmi, mereka memilih jalan pintas. Keputusan yang kemudian membawa mereka tersesat di rimba.

Jalur yang mereka ambil mengikuti aliran sungai dengan harapan akan bermuara ke pantai — ke tempat tenda. Tapi kenyataan tak seindah rencana. Jalur air itu jarang dilalui orang. Lebih parah, dua anggota putri, Tetet dan Erlina, mengalami kesurupan.

“Waktu itu kami denger suara tangisan, teriakan. Histeris. Situasi mencekam. Tapi alhamdulillah, warga kampung di hutan Gunung Putri dengar dan nolong kita. Mereka bantuin sampe semua teman sembuh,” kenang Widodo.

Peristiwa itu membekas. Bukan hanya karena dramatisnya, tapi karena setelah itu, Widodo merasakan sesuatu yang berubah dalam dirinya. Jiwa Pramuka yang semula sekadar formalitas mulai tumbuh menjadi kesadaran. Keberanian, tanggung jawab, kerja tim, dan semangat pantang menyerah. Semua tumbuh dari kemah itu.

Puluhan tahun berlalu. Widodo kini berdomisili di Jakarta. Di tengah kesibukannya sebagai pengusaha sukses dengan beberapa anak perusahaan dan empat istri yang ia cintai, ia tetap menyimpan album lama: album Regu Gajah. Dalam album itu, wajah-wajah muda penuh harapan terpampang — termasuk dirinya, dengan senyum lebar dan lencana Pramuka di dada.

Penulis berkesempatan berkunjung ke apartemennya yang tak jauh dari kantor Kemenpora. Disambut dengan Fortuner putih, dijamu dengan soto Kudus dan wedang uwuh, dan disuguhi kenangan dalam bentuk foto dan cerita. Widodo berbicara bukan lagi sebagai anak stasiun, tapi sebagai mentor kehidupan.

“Bro, Pramuka itu bukan soal ikat simpul atau yel-yel doang. Itu pelajaran hidup. Aku bisa survive di Jakarta, bisa mulai dari wartawan sampe jadi pebisnis, semua karena tempaan di Pramuka,” tuturnya sambil membuka halaman album.

Ketika ditanya apa pesan untuk generasi muda, wajahnya berubah serius. Matanya menatap jauh ke jendela apartemen lantai lima.

“Pramuka itu seharusnya diterapkan di semua sekolah menengah. Di situ kita diajari mandiri, gotong royong, hormat sama teman, dan punya cinta tanah air. Anak muda sekarang perlu jiwa bela negara, bukan cuma tahu TikTok dan trending,” katanya sambil tersenyum.

Widodo bukan tokoh yang sempurna. Tapi kisahnya, dari ular di tikar hingga jejak langkah di rimba Gunung Putri, membentuk karakter yang tak bisa dibeli dengan uang. Ia membuktikan bahwa di balik kenakalan, bisa tumbuh jiwa heroik. Dan bahwa semangat Pramuka bukan sekadar nostalgia — melainkan warisan nilai yang layak diwariskan pada generasi muda hari ini.


Diperkuat oleh Suara Para Tokoh dan Ilmuwan

Pendiri Gerakan Pramuka Dunia, Robert Baden-Powell, pernah menyatakan:

“An invaluable step in character training is to put responsibility on the individual.”
(Langkah yang sangat berharga dalam pelatihan karakter adalah memberikan tanggung jawab kepada individu.)

“Vigorous Scout games are the best form of physical education because most of them bring in moral education.”
(Permainan Pramuka yang energik adalah bentuk terbaik dari pendidikan jasmani karena sebagian besar membawa pendidikan moral.)

Sementara itu, tokoh nasional seperti Mohammad Hatta dan KH. Agus Salim dikenal aktif dalam kepanduan. Bagi mereka, Pramuka bukan hanya kegiatan ekstrakurikuler, tetapi media pembentukan karakter dan semangat kebangsaan yang melekat dalam perjuangan kemerdekaan.

Sejalan dengan itu, studi dari Ernawati (2017) dalam jurnal IJMMU menegaskan bahwa metode kepramukaan sangat efektif membentuk karakter siswa, terutama dalam hal tanggung jawab dan disiplin. Bahkan jurnal internasional yang dimuat di ERIC (2016) menambahkan bahwa aktivitas Pramuka memberi ruang bagi siswa untuk membangun kepribadian, kepemimpinan, dan empati sosial sejak dini.

Dalam konteks Indonesia, artikel di Neliti juga menegaskan bahwa Pramuka memiliki peran penting dalam membentuk kemandirian dan kepedulian sosial — dua hal yang sangat relevan dalam membina karakter generasi muda saat ini.


Kesimpulannya, kisah Widodo bukan hanya nostalgia personal. Ia adalah bukti hidup bahwa Pramuka punya kekuatan membentuk karakter, keteguhan, dan keberanian. Dan sebagaimana dikatakan Baden-Powell, nilai-nilai itu akan tetap relevan selama manusia memerlukan karakter tangguh untuk bertahan di tengah zaman yang cepat berubah. (*)

#menuliscerpenpramuka Cerpen kedua