Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Artificial Intelligence Tak Membunuh Penulis, Tapi Mengubahnya

June 2, 2025 07:29
IMG-20250602-WA0012

Oleh Denny JA

HATIPENA.COM – Di sudut Jalan Buah Batu, Bandung, berdiri sebuah toko buku yang menjadi saksi bisu perjalanan literasi kota itu.

Togamas Buah Batu bukan sekadar tempat berjualan buku. Ia rumah bagi para pelajar pencari buku ujian, orang tua yang membelikan dongeng, dan penulis yang ingin melihat bukunya berpindah dari rak ke tangan pembaca.

Dengan etalase sederhana dan diskon yang menggoda, Togamas menemani generasi pembaca selama puluhan tahun. Namun, pada April 2024, pintu itu tertutup untuk selamanya.

Mereka berpamitan di Instagram:

“Kami dari segenap keluarga besar Togamas Buah Batu izin pamit. Terima kasih kepada seluruh pelanggan setia yang telah mempercayai kami sebagai toko buku kesayangan kalian.” (1)

Bukan hanya Togamas. Toko Buku Gunung Agung—ikon retail literasi Indonesia sejak 1953—juga resmi menutup seluruh gerainya pada akhir 2023, tak kuasa menahan beban kerugian.

Di balik pintu-pintu toko yang tertutup, ada kehilangan yang lebih besar: hilangnya ruang ketiga—tempat jiwa-jiwa berkumpul, berdiskusi, mencari inspirasi, dan menyembuhkan luka lewat kata.

-000-

Kematian toko buku adalah gejala dari luka yang lebih dalam: bangkrutnya ekosistem literasi.

Survei Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) 2024 mencatat: 80% penulis hanya menerima royalti kurang dari Rp 2 juta per tahun. Sebagian bahkan tak sampai Rp 500 ribu.

Mereka menulis. Bukunya terbit. Namun hidupnya tak layak.

Sementara itu, harga kertas naik 90% dalam lima tahun. Pajak buku tetap 11%. Distribusi hanya menjangkau kota besar. Pembajakan digital merajalela. Sistem tak berpihak.

Kini, dengan munculnya ChatGPT dan ribuan model serupa, pembaca bisa mendapat informasi yang lebih cepat, lebih lengkap, dan gratis. Mesin menyediakan jawaban yang lebih luas dari perpustakaan manapun.

Menulis di Indonesia seperti bercocok tanam di gurun pasir. Terik terlalu menyengat. Tak ada air untuk harapan.

-000-

Tahun 2025 adalah tonggak baru: ribuan naskah lahir dari mesin, dalam hitungan detik.

AI kini bisa menulis novel roman, puisi melankolis, bahkan buku motivasi dengan judul yang menjual. Mesin tak hanya menyalin gaya—ia menebak emosi, meniru struktur narasi, menyusun dialog yang menyentuh.

Namun ada satu hal yang tak bisa IA tiru: kehilangan yang nyata.

Bayangkan ini: di sudut sebuah warung kopi di Yogyakarta, seorang penulis muda bernama Naila mengetik dengan laptop retak. Ia baru kehilangan ibunya. Ia menulis bukan untuk menang lomba atau dilirik penerbit besar. Ia menulis agar tak tenggelam dalam duka.

Puisinya, Peluk yang Tak Tiba, menyentuh bukan karena teknisnya rapi, tapi karena tangisnya nyata.

AI bisa merangkai bait. Tapi ia tak pernah kehilangan ibu. Tak pernah menggigil dalam sepi. Tak bisa menangis saat mengetik.

Dan di sanalah perbedaan mendasarnya.

-000-

Di era AI, penulis terbagi menjadi dua:

🔻 1. Penulis Komersial

Mereka menulis untuk hidup. Dari royalti, proyek, dan honor.

Kini:
• Proyek direbut AI.
• Harga tulisan jatuh.
• Waktu produksi menyusut drastis.

Agar bertahan, mereka harus bertransformasi.

Menjadi bukan sekadar penulis, tapi arsitek narasi yang bekerja bersama mesin. Mereka menyunting tulisan AI, menambahkan emosi, konteks lokal, dan suara khas yang tak bisa dipalsukan.

Mereka membangun sistem distribusi langsung—komunitas pembaca yang loyal. Masih ada penulis yang menjual karya bukan melalui toko buku, tapi melalui kanal yang mereka bangun sendiri.

Strateginya:
• Menjadi kurator AI: menyaring, mengedit, dan menanamkan jiwa ke dalam teks dingin.
• Menjual otentisitas: karena suara unik tak bisa diduplikasi.
• Membangun ekosistem sendiri: komunitas, kanal distribusi, hingga monetisasi melalui kelas, forum, atau merchandise.

🔸 2. Penulis Pencerah

Mereka menulis bukan karena dibayar, tapi karena tak bisa tidak menulis.
• Menulis sebagai doa.
• Menulis sebagai perlawanan terhadap zaman yang kehilangan makna.
• Menulis sebagai suluh dalam gelapnya hidup.

Mereka tetap menulis, meski tak dibaca banyak orang. Bahkan jika tak pernah dibayar.

Mereka adalah pewaris pelukis gua purba. Meninggalkan jejak di dinding waktu. Agar kelak, seseorang menemukan, dan mengerti.

Mereka tak bertanya: “Siapa yang akan membeli?”
Mereka bertanya: “Apa yang akan terjadi jika aku tidak menulis?”

-000-

Di tengah dunia yang riuh namun hampa, ketika kecepatan mengalahkan kedalaman, dan algoritma menentukan nilai, hanya satu hal yang tetap murni:

Tulisan yang lahir dari hati manusia.

Yang merangkak dari luka, cinta, kerinduan, dan iman.

AI tidak membunuh penulis. Tapi memaksa mereka memilih:

Apakah kau menulis demi uang?
Atau demi merawat makna hidup?

Untuk mereka yang masih menulis di malam sunyi,
Yang tak berharap royalti,
Yang menulis agar tak mati dalam diam—
Teruslah.

Karena setiap kata yang kau tulis adalah lilin kecil di lorong gelap peradaban.

Namun, bagi mereka yang berharap hidup hanya dari menulis, pahamilah: zaman telah berubah.

Data di Eropa dan Amerika menunjukkan: hanya 1% penulis yang bisa hidup dari tulisannya.

Ini hukum besi zaman. Terlalu kuat bahkan untuk dilawan oleh pemerintahan.

Silakan berlomba menjadi 1% itu. Tapi ingat: 99% lainnya akan tersingkir.

Zaman tak membunuh penulis. Tapi menyeleksi mereka.

Yang akan bertahan adalah:
• Penulis yang menjadikan menulis sebagai pencerahan atau hobi.
• Dan segelintir yang berhasil mengelola tulisan bernilai komersial.

-000-

Apa yang bisa dilakukan asosiasi penulis di era AI?

Mereka tak bisa mengubah zaman. Tapi bisa menjadi penjaga api kecil yang tak padam.

Asosiasi dapat menyebarkan kesadaran baru:
Mengalihkan fokus menulis dari uang ke makna.

Mereka bisa menyadarkan penulis untuk:
• Menulis bukan untuk pasar, tapi untuk warisan spiritual dan budaya.
• Menjadikan tulisan sebagai terapi, ekspresi eksistensial, atau bentuk dialog sosial.

Penulis seperti itu tak akan kaya secara materi, tapi bisa “hidup” dalam arti yang lebih dalam.

Asosiasi penulis tak bisa memaksa publik membeli buku.
Tapi mereka bisa menjaga agar masih ada penulis yang bertahan.
Menulis bukan demi uang—tapi demi jiwa manusia.

Sekalipun kecil, tetap harus ada yang dinyalakan.

Setiap tahun, Denny JA Foundation bersama komunitas penulis telah menghidupkan lilin kecil itu—melalui dana abadi untuk 50 tahun ke depan.

Penghargaan tahunan diberikan kepada:
• Penulis fiksi dan nonfiksi terbaik yang masih menerbitkan buku dalam tiga tahun terakhir.
• Penulis atau aktivis terbaik puisi esai.
• Tokoh dengan pencapaian seumur hidup (lifetime achievement award).

Dengan nominal antara Rp 35 juta hingga Rp 50 juta, penghargaan ini bukan sekadar bentuk apresiasi—melainkan pernyataan:
Menulis tetap penting. Kata-kata masih berarti.

Sekecil apapun, selalu ada lilin yang dinyalakan
—untuk sedikit menerangi rute ke zaman baru.***

Jakarta, 2 Juni 2025

CATATAN

(1) Kisah tutupnya Togamas Buah Batu:

https://bandungbergerak.id/article/detail/1597278/jejak-jejak-literasi-di-bandung-8-tutup-buku-togamas-buah-batu?utm_source=chatgpt.com

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/19c5ADgcmg/?mibextid=wwXIfr