Ilustrasi : Meta AI/Rizal Pandiya
Penulis : Monanta
HATIPENA.COM – Sejak dahulu, manusia selalu dihadapkan pada perubahan akibat inovasi teknologi. Salah satu peristiwa yang menarik dalam sejarah adalah reaksi keras para ahli matematika terhadap penemuan kalkulator.
Banyak dari mereka merasa bahwa kalkulator merusak esensi perhitungan matematis karena terlalu mempermudah proses tanpa membutuhkan keahlian murni.
Para ahli bertanya-tanya, “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi hingga sarjana jika anak kecil pun bisa menghitung dengan cepat menggunakan kalkulator?” Sentimen ini mencerminkan ketakutan bahwa alat bantu dapat menggantikan keterampilan manusia.
Ketika kalkulator mulai populer, banyak sekolah dan universitas yang melarang penggunaannya dalam ujian. Dosen-dosen khawatir mahasiswa akan kehilangan kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah matematis.
Namun, seiring waktu, kalkulator akhirnya diterima sebagai alat bantu yang justru meningkatkan produktivitas, bukan menggantikan keahlian fundamental dalam matematika.
Kini, kita bahkan menggunakan software matematika yang lebih canggih seperti MATLAB dan Wolfram Alpha untuk menyelesaikan persoalan yang lebih kompleks.
Peristiwa serupa terjadi dalam dunia musik dengan munculnya AI music generator. Teknologi ini mampu menciptakan musik secara instan, bahkan meniru gaya musisi terkenal.
Banyak musisi merasa terancam dengan kehadiran AI ini, karena mereka menganggap bahwa kreativitas yang sebelumnya lahir dari pengalaman dan keahlian manusia kini bisa dihasilkan oleh algoritma dalam hitungan detik.
Kekhawatiran ini mengingatkan kita pada reaksi terhadap kalkulator di masa lalu. Jika perhitungan matematis bisa diotomatisasi, apakah itu berarti ahli matematika tidak lagi diperlukan? Jika musik bisa dibuat dengan AI, apakah musisi tidak lagi relevan?
Sejarah telah menunjukkan bahwa teknologi tidak menggantikan manusia, tetapi justru membuka peluang baru. Dalam kasus kalkulator, manusia tetap membutuhkan pemahaman mendalam tentang matematika untuk menerapkan logika dan analisis yang tidak bisa dilakukan oleh mesin. Begitu pula dalam musik, AI dapat menjadi alat bantu bagi musisi, bukan sebagai pengganti kreativitas mereka.
Contoh lain yang menarik adalah, kursus mengetik 10 jari yang dulu dianggap penting dan bahkan memiliki sertifikat resmi untuk keperluan melamar kerja di kantor.
Dahulu, seseorang yang memiliki keahlian mengetik cepat dengan 10 jari dianggap lebih unggul di dunia kerja. Namun, dengan perkembangan komputer yang makin canggih dan penggunaan perangkat lunak yang memungkinkan koreksi otomatis, keterampilan mengetik bukan lagi menjadi faktor utama dalam seleksi kerja.
Teknologi terus berkembang, dan yang terpenting adalah bagaimana manusia beradaptasi dengannya. AI music generator bukan ancaman bagi musisi, tetapi alat yang bisa digunakan untuk mengeksplorasi ide-ide baru dan mempercepat proses kreatif.
Sama seperti kalkulator yang tidak menggantikan matematika, AI juga tidak menggantikan seni musik—ia hanya mengubah cara kita menciptakannya.
Sejarah selalu berulang, dan tantangannya bukanlah menolak teknologi, melainkan menemukan cara terbaik untuk bekerja dengannya. (*)