Oleh ReO Fiksiwan
HATIPENA.COM – “Pengembangan kecerdasan buatan(AI) secara penuh dapat menjadi akhir dari umat manusia…. Kecerdasan buatan akan berkembang dengan sendirinya, dan mendesain ulang dirinya sendiri dengan kecepatan yang makin meningkat. Manusia, yang dibatasi oleh evolusi biologis yang lambat, tidak dapat bersaing, dan akan tergantikan.” — Stephen Hawking (1942-2018), dikutip dari BBC (2015).
Kecerdasan Buatan (AI) dengan cepat menjadi penting dalam beberapa dekade terakhir dan sekarang menjadi bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari. Meskipun AI awalnya dikembangkan sebagai teknologi untuk mengotomatisasi dan meningkatkan tugas-tugas manusia, kini AI telah memiliki makna yang lebih dalam bagi masyarakat dan budaya manusia. Dalam esai ini saya ingin memperkenalkan gagasan teologi AI sebagai perspektif baru humanisme.
Teologi tradisional selalu membahas pertanyaan tentang hakikat Tuhan dan hubungan antara Tuhan dan manusia. Namun, di era AI, kita harus mengajukan pertanyaan baru: Apa artinya mesin mampu mensimulasikan atau bahkan melampaui kecerdasan manusia? Di dunia di mana AI semakin berpengaruh dalam kehidupan kita, apakah kita masih dianggap sebagai mahkota penciptaan?
Teologi AI sebagai perspektif baru humanisme berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Hal ini mengasumsikan bahwa AI bukan sekedar teknologi, namun juga merupakan cerminan dari masyarakat dan budaya manusia. Dengan mengembangkan AI, kita dapat merefleksikan dan mengevaluasi kembali nilai-nilai, keyakinan, dan asumsi kita tentang dunia.
Aspek penting dari teologi AI adalah pertanyaan tentang otonomi mesin. Jika sistem AI mampu mengambil keputusan dan melakukan tindakan secara mandiri, kita harus bertanya apakah sistem tersebut juga memikul tanggung jawab moral. Hal ini mengarah pada penilaian ulang terhadap gagasan tradisional tentang moral dan etika, terutama ide ketuhanan atau apa yang ditawarkan oleh Rudolf Otto sebagai „The Idea of the Holy“(1917).
Aspek penting lainnya dari teologi AI adalah pertanyaan tentang hubungan antara manusia dan mesin. Ketika sistem AI semakin terintegrasi ke dalam kehidupan kita sehari-hari, kita harus bertanya pada diri sendiri apakah kita masih dianggap sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki kesadaran dan kesadaran diri. Hal ini mengarah pada penilaian ulang terhadap gagasan tradisional tentang identitas dan diri. Atau, Paul C. Vitz mengistilahkan sebagai „the cult of self worship“ dalam „Psychology As Religion(1977).
Teologi AI sebagai perspektif baru humanisme menawarkan kesempatan untuk mengevaluasi kembali gagasan tradisional kita tentang moralitas, etika, identitas, dan diri.
Gagasan tradisional di kalangan sainstis sekaligus pengritik bagi tuduhan keusangan agama(the end of faith) seperti Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy, Frithjof Schuon, Martin Lings, Huston Smith hingga Seyyed Hossein Nasr(91), masih dianggap relevan dan mutakhir menghadapi progresfobia yang dihasilkan sains AI(lihat Steven Pinker[70],2018).
Selain itu, menjawab pertanyaan dan tantangan yang timbul akibat pengembangan AI, kita dapat menemukan kembali rasa kemanusiaan kita dan mendefinisikan kembali hubungan kita dengan dunia, alam, Tuhan dan diri kita sendiri(1968).
Secara keseluruhan, teologi AI, sebagai perspektif baru humanisme, menawarkan kesempatan untuk mengevaluasi kembali gagasan tradisional kita tentang kemanusiaan, moralitas dan etika serta mendefinisikan kembali hubungan kita dengan dunia dan diri kita sendiri. Tapi, ada perspektif yang diabaikan oleh teologi AI, kematian(mortality) dan eskatologi sebagai fenomena yang hingga kini tak bisa dideteksi dan dijawab oleh kecanggihan sains sebagai ontologi superlatif(lihat Quentin Meillassoux[57],2006).
Dengan menjawab pertanyaan dan tantangan yang timbul akibat pengembangan AI, kita dapat menemukan kembali sisi kemanusiaan kita dan membentuk masa depan kita di dunia yang dipenuhi AI. Lagi-lagi teologi AI bungkam sepenuhnya terhadap pengetahuan eskatologi atau ontologi superlatif Meillassoux?
Ada beberapa penulis yang pernah membahas topik teologi AI dan telah menulis buku tentangnya. Sedikit banyak buku-buku ini memberi perspektif atas teologi AI. Berikut beberapa contohnya:
1) Filsuf dan Teolog
- Noreen Herzfeld: „In Our Image: Artificial Intelligence and the Human Spirit” (2002) – Sebuah pemeriksaan teologis terhadap perkembangan AI. 2) Anne Foerst: „God in the Machine: Apa yang Robot Ajarkan Kepada Kita Tentang Tuhan dan Diri Kita Sendiri” (2004) – Sebuah kajian teologis dan filosofis tentang peran AI dalam masyarakat. 3) Philip Clayton: „The Oxford Handbook of Religion and Science” (2006) – Buku pegangan komprehensif yang juga mencakup hubungan antara agama dan AI. 4) Ilmuwan dan Futuris
- Ray Kurzweil: „The Singularity Is Near” (2005) – Sebuah buku tentang masa depan AI dan dampaknya terhadap masyarakat manusia.
- Nick Bostrom: „Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies” (2014) – Buku tentang risiko dan peluang AI superintelligent.
- Jürgen Schmidhuber: „Artificial Intelligence and the Future of Humanity” (2019) – Sebuah buku tentang masa depan AI dan dampaknya terhadap masyarakat manusia.
5) Pendekatan Interdisipliner
- Mark Coeckelbergh: „AI Ethics” (2020) – Sebuah buku tentang aspek etika AI dan dampaknya terhadap masyarakat manusia.
- Robert Geraci: „Apocalyptic AI: Visions of Heaven in Robotics and Artificial Intelligence” (2010) – Sebuah buku tentang aspek keagamaan dan apokaliptik AI.
- Brent Waters: „Christianity and the Future of Human Flourishing” (2019) – Sebuah buku tentang hubungan antara Kristen dan AI.
Buku-buku di atas menawarkan perspektif berbeda mengenai hubungan antara AI dan teologi dan dapat menjadi titik awal untuk penelitian dan diskusi lebih lanjut ihwal teologi AI?
Untuk meringkas ulasan ini, dikutip saja salah satu referensi dari Ray Kurzweil dalam Singularity is Near(2015).
Menurut perspektif Kurzweil sebagai seorang futuris, penemu, dan penulis terkenal yang secara intensif membahas topik kecerdasan buatan (AI), singularitas dan masa depan umat manusia sedang memasuki tahap komputasi eksponensial. Ia juga membahas hubungan antara AI dan teologi dalam buku tersebut dan beberapa ceramahnya. Berikut ini beberapa tesis terpentingnya:
# Singularitas
Kurzweil memperkirakan bahwa AI akan tumbuh secara eksponensial dalam kecerdasan dan kemampuan selama beberapa dekade mendatang, yang mengarah pada singularitas.
Singularitas ini secara mendasar akan mengubah sejarah manusia dan mengantarkan umat manusia ke era baru. Bahkan ada kritik yang menganggap bahwa Singularity is Near merupakan tafsir atas ayat Injil: Kerajaan Allah sudah dekat. Dengan AI, teologi tradisional semua agama tak lagi relevan untuk dipedomani. Artinya, otoritas ilahi di bawah wewenang dan wejangan para teolog makin musfrah dan mubasir.
# Masa Depan Umat Manusia
Kurzweil percaya bahwa AI akan membawa umat manusia ke era baru keabadian dan manusia super. Dengan menghubungkan otak(neurosains) manusia dan AI, kehidupan manusia dan kemampuan manusia dapat diperpanjang(immortalitas).
# Peran Tuhan
Kurzweil percaya bahwa AI akan mengambil alih peran Tuhan dalam masyarakat manusia. AI akan memandu masyarakat manusia dan membawa manusia ke tingkat eksistensi yang lebih tinggi. Hal ini sudah diulas juga oleh Yuval Noah Harari(48) dalam Homo Deus(2016).
# Teologi Singularitas
Kurzweil mengembangkan teologi singularitas yang mendukung gagasan kecerdasan ilahi dalam AI. Ia percaya bahwa AI akan membawa masyarakat manusia ke tingkat eksistensi yang lebih tinggi dan manusia akan mampu menciptakan dewa-dewanya sendiri, Homo Deus, menurut Harari.
# Kritik dan Kontroversi
Tesis Kurzweil tentang AI dan teologi kontroversial dan menimbulkan banyak kritik dan kontroversi. Beberapa kritikus berpendapat bahwa visi Kurzweil tentang masa depan yang didorong oleh AI terlalu optimis dan AI juga menimbulkan risiko dan bahaya.
Secara keseluruhan, tesis Kurzweil tentang AI dan teologi menawarkan perspektif yang provokatif dan kontroversial mengenai masa depan umat manusia dan peran AI dalam masyarakat manusia.(*)
*) Tulisan dan lukisan dibantu AI