Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Beberapa hari ini saya memang lebih banyak menginformasikan seputar haji. Ada yang penuh inspirasi dan motivasi. Namun, ada juga yang membuat sedih. Selalu ada dinamika seputar haji. Kali ini tentang seribuan saudara kita tertunda menuju tanah suci, padahal sudah di bandara. Mari kita ungkap kejadian ini sambil seruput kopi tanpa gula lagi, wak!
Di bawah langit Bandara Soekarno-Hatta, diapit deru jet dan tangisan bayi internasional, 719 jiwa manusia Indonesia terpaksa mengurungkan niat sucinya menuju Baitullah. Mereka bukan pelancong biasa, bukan juga pelajar exchange yang salah gate. Mereka adalah rombongan suci, jamaah calon haji, atau tepatnya, calon haji nonprosedural, yang tertahan di antara cinta kepada Allah dan algoritma sistem keimigrasian.
Mereka tidak sendiri. Di Bandara Juanda, 187 jiwa menyusul. Di Ngurah Rai, 52 orang. Makassar, 46 orang. Yogyakarta, 42. Kualanamu 18. Minangkabau 12. Bahkan di Bandara Sultan Haji Sulaiman, empat orang tersungkur di hadapan barcode scanner. Tak hanya di udara, nasib serupa menimpa 82 orang di Pelabuhan Citra Tri Tunas Batam, 54 di Batam Center, dan 27 di Pelabuhan Bengkong. Total 1.243 jiwa tertunda menyusul dua jutaan jamah haji dari seluruh dunia di tanah suci.
“Visa Anda bukan visa haji, Pak,” ujar petugas imigrasi tanpa ekspresi, seperti malaikat Raqib yang mencatat amal tanpa emosi. “Silakan kembali ke ruang tunggu dan merenungi niat.”
Mereka menangis, terisak di pojok terminal. Sebagian tak percaya bahwa niat suci bisa kalah oleh sepotong dokumen. Tapi inilah realitas spiritual masa kini. Ihram boleh dibeli, niat boleh diteguhkan, tapi tanpa visa haji resmi dari Kerajaan Saudi, ente hanya penumpang biasa dengan pakaian tak biasa.
Suhendra dari Direktorat Jenderal Imigrasi, dengan nada penuh kebijakan negara, menjelaskan bahwa semua ini demi menghindari penyalahgunaan visa. Visa Arab Saudi memang mereka punya. Tapi visa haji? Nihil. Yang mereka kantongi hanyalah visa ziarah, visa bisnis, bahkan mungkin visa nyasar.
Farid Aljawi dari AMPHURI menambahkan, tahun 2024, sebanyak 1.301 orang wafat saat haji. Tragisnya, 80 persen dari mereka adalah pemegang visa nonhaji. Tenda-tenda di Mina dibanjiri manusia yang tak terdata, membuat jamaah resmi merasa tersingkir di negeri orang. Maka pada 2025 ini, Kerajaan Saudi memperketat aturan. Tak ada lagi haji furoda. Tak ada lagi mereka yang nekat dengan niat suci yang menyelinap lewat lorong visa kerja.
Dari 2,5 juta jamaah yang biasa memadati Tanah Suci, kini hanya 1,5 juta yang diperkenankan wukuf. Bukan karena yang di atas tak sanggup menampung lebih banyak hamba-Nya, tapi karena Saudi sudah menghitung milimeter persegi padang Arafah dan jumlah tenda AC di Mina. “Dulu visa ziarah bisa masuk, visa kerja bisa masuk. Sekarang, hanya visa haji,” kata Farid dengan wajah seperti baru menolak pinangan mantan.
Abdul Wachid dari DPR hanya bisa angkat tangan. “Visa furoda itu urusan Saudi. Indonesia tidak bisa ikut mengatur,” katanya, sambil menatap langit yang semakin birokratis. Bahkan lembaga legislatif tak mampu membela air mata 1.243 orang yang telah memesan kurma dan unta sewaan di Makkah.
Haji kini bukan sekadar perjalanan spiritual. Ia adalah persimpangan antara niat dan otoritas visa. Di masa lalu, Nabi Ibrahim mengangkat batu demi membangun Ka’bah. Di masa kini, umat Ibrahim mengangkat koper hanya untuk dibatalkan boarding-nya oleh sistem. Maka berhajilah kamu, jika visa-mu sudah mabrur. Jika belum, tunggulah, mungkin tahun depan… atau tunggu azan di padang Mahsyar, tempat di mana tak ada lagi petugas imigrasi. (*)
#camanewak