Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

100 Hari Diwarnai Demo di Kemdiktisaintek

January 20, 2025 21:45
IMG-20250120-WA0138

Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)

HATIPENA.COM – Seratus hari pertama. Seratus langkah menuju sejarah. Prabowo-Gibran melangkah seperti dewa-dewa turun dari Olympus, membawa harapan dan janji. Langit terlihat lebih cerah. Burung-burung berkicau lebih merdu. Rakyat, dengan senyum mengembang, mencatat rekor kepercayaan 80,09 persen. Seolah, tiada lagi gelap di bumi pertiwi. Namun, di bawah euforia itu, ada bara yang menyala. Sebuah panggung drama yang membakar harapan dengan api ironi.

Hari ini, di jantung kekuasaan Kemdiktisaintek, riak berubah menjadi gelombang. Para pegawai berdiri tegak, seragam hitam mereka seperti bayangan duka. Mereka mengangkat spanduk, bukan untuk merayakan, tetapi untuk menggugat. Karangan bunga berisi satire menghiasi halaman kantor. “Kami Tidak Diam Saat Hak Diinjak,” tertulis dengan tinta kemarahan. “Luka Satu Adalah Luka Kita Semua.”

Sementara itu, sang Menteri Satryo Soemantri Brodjonegoro berdiri kokoh di podium, seperti seorang jenderal di medan perang. Dengan suara dingin, ia menepis tuduhan arogansi. “Tidak ada arogansi,” katanya. “Mutasi adalah keharusan. Efisiensi adalah jalan kita.” Tapi kata-kata itu, yang seharusnya menenangkan, malah menggema seperti lonceng kematian di telinga para pegawai. Mereka tidak percaya. Mereka tahu, keadilan sedang dipermainkan.

Neni Herlina, seorang pegawai yang dipindahkan tanpa alasan jelas, menjadi simbol perlawanan. Kisahnya seperti tragedi Yunani yang menyesakkan dada. “Saya disuruh pindah tanpa alasan,” katanya. Matanya berkaca-kaca, suaranya pecah. Dari penataan meja hingga pemasangan WiFi di rumah dinas menteri, hal-hal kecil berubah menjadi badai besar. “Harga diri saya diinjak,” ia menambahkan, seperti seorang pahlawan yang dikhianati di medan perang.

Di tengah hiruk-pikuk itu, tagar #Lawan dan #MenteriDzalim bergema di jagat maya. Karangan bunga terus berdatangan, bukan sebagai penghormatan, tetapi sebagai bentuk perlawanan. “Semoga Bahagia di Atas Derita Pegawai Sendiri,” sebuah pesan yang menikam dengan tajam. Atmosfer di kantor Kemdiktisaintek berubah menjadi panggung tragedi. Setiap sudut dipenuhi bisikan ketidakadilan, setiap wajah menyimpan dendam yang mendidih.

Di atas semuanya, Prabowo-Gibran berdiri. Mereka, duet yang dielu-elukan sebagai penyelamat bangsa, kini menghadapi retakan pertama dalam narasi sempurna mereka. Seratus hari pertama adalah mahakarya, sebuah simfoni yang dirayakan dengan tepuk tangan. Tapi di balik layar, ada luka yang menganga. Ada air mata yang mengalir. Ada mimpi yang hancur.

Apakah ini pertanda? Apakah ini sekadar riak kecil atau awal dari badai besar? Tidak ada yang tahu. Tapi satu hal yang pasti, drama ini belum selesai. Kisah ini akan terus berlanjut, seperti api yang tak kunjung padam. Kita, rakyat biasa, hanya bisa menonton. Menonton dengan hati berdebar, bertanya-tanya, kapan sinar terang itu benar-benar menyentuh semua orang.

Indonesia, seratus hari pertama ini adalah panggung besar. Sebuah panggung dengan lampu-lampu gemerlap, namun bayangan gelap terus mengintai di sudut-sudutnya. Apakah panggung ini akan bertahan? Ataukah akan runtuh oleh bebannya sendiri? Waktu yang akan menjawab.

#Camanewak