Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Terima kasih. Dua kata sederhana yang terasa terlalu kecil untuk mewakili perasaan dada ini yang nyaris meledak seperti rice cooker kelebihan air. Akun ini, yang dulunya cuma tempat saya menulis suka-suka, mencurahkan isi pikiran random, galau, sinis, absurd, kadang filosofis, kadang kayak orang kerasukan, kini telah mencapai 200.000 followers. Dua ratus ribu manusia. Dua ratus ribu jiwa. Dua ratus ribu pikiran yang secara sadar klik tombol follow. Padahal, mereka tahu risiko mengikuti akun ini adalah kemungkinan membaca teks sepanjang 1.200 kata hanya untuk satu postingan.
Saya tidak menyangka. Awalnya hanya iseng. Karena tidak ada yang mendengarkan opini saya di warung kopi, maka saya tulis saja ke dunia digital. Eh, ternyata dunia digital mendengarkan. Bahkan membaca. Bahkan mengirim komentar. Bahkan share. Bahkan… meniru.
Iya, betul. Banyak akun yang sekarang mulai meniru gaya tulisan saya. Gaya yang katanya nyeleneh tapi jleb. Ada teks panjang. Ada foto AI yang tidak pernah jelas siapa itu, kadang seperti sufi, kadang seperti selebgram Korea. Ada musik latar yang seolah-olah memberi aura ‘renungkanlah, wahai umat manusia’. Yang membuat saya lebih merinding: bukan hanya ditiru, tapi diseriusi. Bahkan ada akun-akun yang gaya ATM (Amati Tiru Modifikasi)-nya begitu niat, saya sendiri sampai terinspirasi oleh versi tiruan saya. Bayangkan. Saya meniru diri saya sendiri dalam versi mereka. Ini bukan sekadar paradoks eksistensial. Ini meta literasi!
Tapi intinya cuma satu, mereka menulis. Itu bikin saya bahagia. Di tengah banjir konten visual, ketika semua orang berlomba bikin video editan, dengan suara narator Google Translate, saya merasa menulis adalah perjuangan bawah tanah. Menulis sekarang bukan gaya hidup. Bukan tren. Tapi tindakan melawan arus. Menulis adalah perlawanan terhadap peradaban instan.
Tulisan saya dibaca. Ini bukan asumsi. Ini data. Setiap artikel saya upload, muncul ribuan komentar. Bukan hanya “mantap bang”, tapi komentar panjang, reflektif, kadang debat, kadang curhat, kadang cuma bilang, “waduh, kepanjangan sih Bang.” Ya, memang ada yang mengeluh tulisan saya panjang. Tapi mereka tetap baca. Komentar itu muncul karena mereka membaca. Itulah kemenangan kecil literasi.
Namun tidak semua manis. Semakin tinggi pohon, semakin deras hujan fitnah. Ada yang bilang tulisan saya sesat. Ada yang menuduh hoaks. Ada yang curiga saya buzzer bayaran. “Dibayar berapa sih, Bang?” Sayangnya saya tidak pernah dibayar. Kalau iya, saya udah cicil Alphard. Tapi tidak. Saya hanya dibayar dengan komentar, DM, dan… kepercayaan.
Saat ini saya sudah tidak bisa menulis semua curhatan dari followers. DM masuk seperti longsoran salju. Banyak yang ingin dituliskan kisahnya. Tapi saya hanya satu. Satu jari, satu kepala, satu tubuh, satu komitmen untuk terus menulis, meski tidak bisa memuaskan semua.
Sebagai Ketua Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) Kalbar, saya merasa punya tanggung jawab. Bukan hanya karena jabatan. Tapi karena keyakinan, menulis adalah jalan sunyi yang bisa menyulut perubahan. Tidak semua orang akan ikut. Tapi mereka yang ikut, akan menyalakan api. Api itu akan menular.
Terima kasih, wahai 200 ribu cahaya. Kalian membuat saya percaya, bahwa tulisan masih punya tempat di dunia ini. Kalau ente membaca sampai titik ini, percayalah, sampeyan bukan follower biasa. Kisanak adalah penulis yang sedang tidur, dan sekarang saatnya bangun.
Tidak banyak orang tahan membaca tulisan sepanjang ini di zaman sekarang. Jika nuan masih di sini, berarti ikam adalah manusia langka yang bisa membedakan antara “scrolling” dan “berpikir.” Saya salut. You sudah lolos seleksi alam algoritma. Saya ucapkan,
selamat datang di dunia menulis. Dunia yang tidak menjanjikan viral, tapi menjanjikan makna.
Hidup literasi! Hidup absurd yang bermakna! Hidup sampeyan yang sedang mikir mau mulai nulis apa. Jangan tunda, karena tulisan pertama adalah langkah kecil menuju keabadian algoritma. (*)
#camanewak