Oleh Amelia Fitriani
HATIPENA.COM – Dalam dunia sastra, puisi selalu menjadi perwujudan jiwa yang paling murni: bisikan rahasia, ledakan emosi, dan refleksi batin yang tertuang dalam kata-kata. Namun, seiring waktu, puisi mulai mencari jalan baru. Tidak lagi hanya menekuni keindahan liris, ia kini merangkul kenyataan yang lebih luas.
Dari perjalanan panjang ini, lahirlah sebuah persimpangan baru: puisi esai—genre yang menggabungkan keindahan imajinasi dengan ketajaman fakta, titik temu antara dunia batin dan dunia luar. Ia adalah anak dari dua ibu yang berbeda, sastra dan sejarah, yang bersatu untuk menciptakan bentuk ekspresi yang kuat.
Di tengah perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, ketika ingatan kolektif bangsa kembali diuji, puisi esai yang bertema sejarah menjadi makin relevan. Pada 18 Agustus 2025, di sebuah ruang yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, perpustakaan menjadi arena perjumpaan: labirin ingatan yang diterangi nyala api intelektual.
Acara yang diselenggarakan oleh Adakopi, Al-Zastrouw Library, dan pemuda-pemudi Karang Taruna kompleks Taman Serua, Depok, ini menjadi ritual penghidupan kembali suara-suara yang bisu.
Peluncuran dan diskusi dua buku karya Irsyad Mohammad—Yang Luput dari Jantung Sejarah dan Lima Saksi Reformasi Denny JA dalam Atas Nama Cinta—menghadirkan kekuatan puisi esai. Penyair Jamal D. Rahman menyebut Irsyad sebagai “pemburu di persimpangan”: bukan menulis dari menara gading imajinasi, juga bukan sekadar merekam fakta kering. Ia berani menempuh jalan yang penuh keraguan, membangun kekuatannya dengan menghidupkan arsip melalui jiwa sastra. Sejarah, yang kerap dianggap latar pasif, di tangan Irsyad berubah menjadi medan hidup, bergetar dengan gesekan antara ingatan pribadi dan catatan resmi.
Sejalan dengan itu, Angin Kamajaya menekankan bahwa puisi esai Irsyad tidak sekadar menghadirkan kembali peristiwa besar maupun hal-hal kecil. Lebih dari itu, karya-karya ini mengajak kita menjadi bagian dari narasi, melihat dan merasakan, bukan sekadar membaca. Itulah kekuatan puisi esai: mengubah realitas menjadi pengalaman batin yang hidup.
Suasana makin khidmat ketika Aryo Segoro dan Dimas Izza Kurniawan membacakan puisi-puisi Irsyad. Kata-kata yang semula tinta di atas kertas kini menjadi wajah yang hidup, bisikan yang bergaung, dan denyut yang terasa. Puisi itu bukan sekadar lisan, tetapi perwujudan kembali jiwa yang luput dari catatan sejarah
Acara ini bukan sekadar seremoni, tetapi perjalanan kolektif ke lorong-lorong waktu, di mana masa lalu tidak hanya diingat, tetapi juga dirasakan. Para hadirin pulang dengan kesadaran baru: sejarah bukan catatan yang beku, tetapi tubuh yang berdenyut, bernapas, dan terus berbicara melalui medium seni yang paling murni.
Penyair tengah berjibaku menyiapkan kumpulan puisinya, menorehkan jejak jiwa yang tak lekang waktu. [*]