HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

80 Tahun Indonesia Sebagai Komunitas Imaji

August 18, 2025 12:22
IMG-20250818-WA0056

Oleh ReO Fiksiwan

“Bangsa adalah komunitas politik yang dibayangkan—dan dibayangkan sebagai sesuatu yang secara inheren terbatas dan berdaulat.”Benedict O.G. Anderson (1935 – 2015), Imagined Communities : Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983 ; 2008).

HATIPENA.COM – Delapan puluh tahun sudah Indonesia berdiri sebagai negara, tapi apakah ia benar-benar ada?

Atau, hanya hidup sebagai narasi yang terus-menerus dibacakan dalam upacara bendera dan pidato kenegaraan?

Mengacu pada Komunitas Imaji Ben Anderson, dikatakan bahwa bangsa sebagai konstruksi imajinatif—komunitas yang dibayangkan oleh mereka yang tidak akan pernah saling mengenal, namun merasa terikat oleh simbol dan cerita bersama.

Indonesia, dalam hal ini, adalah mahakarya imajinasi: sebuah negeri yang dibayangkan merdeka, adil, dan makmur, tapi dalam praktiknya lebih mirip pasar gelap kekuasaan yang menjual harapan rakyat dengan harga diskon.

Sejak Pilpres 2014, demokrasi Indonesia telah menjelma menjadi pertunjukan prosedural yang mengabaikan substansi.

Rakyat bukan lagi subjek politik, melainkan objek statistik.

Mereka dihitung, dipetakan, dan dijadikan komoditi oleh partai politik yang lebih mirip sindikat dagang daripada organisasi ideologis.

Bahasa politik pun berubah: dari wacana ke dagelan, dari visi ke viral.

Merujuk lagi pada Ben, kita belajar bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tapi juga alat dominasi.

Dikutip dari Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990 ; 2006):

“Meskipun bangsa Indonesia masih muda, negara Indonesia sudah tua, bermula dari penaklukan Belanda di awal abad ke-17; dan politik kontemporer dijalankan dalam bahasa baru—Bahasa Indonesia—oleh masyarakat yang budayanya berakar pada abad pertengahan.“

Maka tak heran jika jargon-jargon seperti “revolusi mental”, “kerja kerja kerja”, dan “gemoy” menjadi mantra baru yang lebih ampuh daripada program nyata.

Pilpres 2024 bukan lagi kontestasi gagasan, melainkan kompetisi algoritma.

Kemenangan kontestan sudah ditetapkan jauh sebelum rakyat mencoblos, bukan oleh Tuhan, tapi oleh lembaga survei yang lebih sakral daripada kitab suci.

KPU, yang seharusnya menjadi wasit demokrasi, justru tampil sebagai pesulap elektoral: menghilangkan data, menggandakan suara, dan menyulap prosedur menjadi legitimasi.

Demokrasi kita bukan lagi tentang pilihan, tapi tentang ilusi pilihan.

Seperti membeli kopi sachet di warung: rasanya sama, hanya bungkusnya yang berbeda.

Rakyat, sang konstituen, diperlakukan seperti angka dalam spreadsheet kekuasaan.

Mereka dibujuk dengan bansos, dihibur dengan konser, dan dibungkam dengan UU ITE.

Dalam antropologi politik kontemporer Indonesia, pemilih bukan lagi warga negara, tapi pelanggan tetap dalam pasar gelap kekuasaan.

Mereka tidak memilih karena percaya, tapi karena terpaksa. Karena di negeri ini, memilih adalah ritual, bukan hak.

Dan hasilnya sudah ditentukan oleh mereka yang punya modal, bukan oleh mereka yang punya suara.

Mengacu pada The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia, and the World (1989 ; 2002), Hantu Komparasi, kata Ben lagi dari esai Gravel in Jakarta’s Shoes (Kerikil di Sepatu Jakarta) : “Kita melihat bagaimana kekuasaan bekerja seperti hantu: tak terlihat, tapi terasa.”

Ia merasuki institusi, membisikkan keputusan, dan menampakkan diri dalam bentuk baliho dan buzzer.

Demokrasi kita dihantui oleh hasrat komparasi sebaga makhluk politik yang hidup di antara partai, lembaga survei, dan media.

Mereka tidak punya ideologi, hanya kepentingan.

Mereka tidak punya rakyat, hanya target pasar.

Indonesia sebagai komunitas imaji adalah ironi yang terus dipelihara.

Kita merayakan kemerdekaan, tapi masih terjajah oleh oligarki.

Kita menyanyikan lagu kebangsaan, tapi tak punya kebangsaan dalam kebijakan.

Kita bangga sebagai bangsa besar, tapi tak mampu membesarkan rakyatnya.

Delapan puluh tahun bukan usia muda, tapi Indonesia masih sibuk mencari jati diri di antara puing-puing janji politik dan reruntuhan etika publik.

Maka, jika ada yang bertanya apa itu Indonesia, jawablah dengan jujur: Indonesia adalah komunitas yang dibayangkan, dijual, dan dipakai ulang setiap lima tahun sekali.

Sebuah negeri yang hidup dalam imajinasi, tapi mati dalam kenyataan.

Sebuah republik yang terus tertawa dalam penderitaan, karena di sini, mati ketawa adalah cara paling merdeka. (*)