Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Absurditas Bunuh Diri?

January 4, 2025 19:43
IMG-20250104-WA0014

Albertus M Patty

DALAM lorong-lorong gelap kehidupan, ada jiwa yang memilih akhir sebagai pelarian. Di tengah multikrisis yang menekan, banyak orang mengalami stress, frustrasi dan putus asa. Mereka berpotensi untuk melakukan bunuh diri.

Ada realitas yang mengejutkan. Apa? Jumlah total orang yang bunuh diri meningkat pesat. Menurut WHO di tahun 2024 ada lebih dari 800 ribu orang yang bunuh diri. Inilah era baru, kata Yuval Harari, di mana diri kita menjadi ancaman utama bagi keselamatan jiwa kita sendiri.

Émile Durkheim, dalam karyanya Le Suicide, menatap bunuh diri bukan sekadar tragedi individu, tetapi gema dari retaknya struktur sosial.

Durkheim berbicara tentang bunuh diri egoistik, yang lahir dari keterasingan, dan anomik, yang tumbuh dari hilangnya arah dalam chaos masyarakat. Bukankah dunia ini, dalam kesepiannya, sering kali menciptakan ruang di mana jiwa-jiwa tak lagi merasa terhubung?

Namun, di tengah absurditas ini, Viktor Frankl, dalam Man’s Search for Meaning, menemukan cahaya. Ia mengingatkan bahwa meski penderitaan berat mendera, hidup selalu memiliki makna. Bahkan di lembah kekelaman, manusia dapat memilih untuk melawan kehampaan dengan menemukan tujuan yang lebih besar. Makna, menurut Frankl, adalah jangkar di tengah badai.

Immanuel Kant, dengan nada moralitasnya, memandang hidup sebagai amanat suci. Baginya, bunuh diri adalah pengingkaran terhadap martabat manusia dan pelanggaran terhadap panggilan luhur yang diberikan Sang Pencipta.

Mercusuar!
Gereja, seperti mercusuar di tengah lautan gelap, dipanggil untuk bertindak. Ia harus menjadi rumah bagi jiwa yang lelah, menciptakan pelukan komunitas yang penuh cinta.

Lebih dari itu, gereja harus membantu mereka yang tersesat untuk menemukan makna sejati dalam Kristus. Sebab di sana, hidup, meski pahit sekali pun, tetap memiliki alasan untuk dijalani.

Bandung, 4 Januari 2025