Catatan Paradoks: Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Bulan yang menentukan buat ribuan anak muda yang baru saja tamat SMA dan SMK.
Ada yang mulai mencari kerja, menyusuri koridor peruntungan; ada pula yang melirik bangku kuliah, memburu gelar dan gengsi.
Di antara semua mimpi itu, adakah yang ingin menjadi petani?
Petani? Profesi itu terdengar seperti masa lalu yang ketinggalan kereta cepat.
Mungkin ada yang masuk fakultas pertanian. Tapi apakah benar mereka ingin bertani? Atau hanya karena tidak lolos di fakultas lain?
Di kepala sebagian besar lulusan muda, bertani adalah pilihan terpaksa. Dunia berkata: petani itu miskin. Padahal, saat dunia berhenti karena pandemi, justru petani yang tetap bisa makan.
Mari kita ingat Bali ketika Covid-19 menggulung dunia. Pulau yang hidup dari pariwisata tiba-tiba tercekik. Bandara bisu, hotel lengang, restoran tutup.
Pekerja pariwisata pulang kampung. Tak ada panggilan tamu asing, tak ada suara musik malam. Yang tersisa hanya cangkul dan tanah. Maka mereka kembali ke asal: bertani.
Mereka menanam apa saja, di tanah warisan, di pekarangan sisa. Karena Bali tak punya tambang, tak punya industri besar. Bali hanya punya tanah subur. Dan dari tanah itulah, masyarakatnya bertahan.
Tapi tidak semua seberuntung itu. Rata-rata petani di Bali hanya punya 0,4 hektare. Dan sebagian besar bahkan tak punya lahan sama sekali. Banyak yang menggunakan sistem sewa.
Dengan populasi 4,4 juta jiwa, plus wisatawan yang datang silih berganti, Bali defisit beras hampir 100 ribu ton setiap tahun.
Tahun 2024 mencatat: kebutuhan beras Bali mencapai 412.929 ton, sementara yang mampu diproduksi hanya 365.424 ton.
Ini bukan karena petani gagal panen. Ini karena lahannya terus tergerus bangunan dan beton. Sementara generasi mudanya enggan menggenggam cangkul.
Inilah dunia yang paradoks: pertanian akar kehidupan Bali, sumber budaya, roh dari segala sesaji dan upacara yang mendatangkan turis.
Tapi justru pertanian yang paling ditinggalkan. Jika pertanian hilang, budaya pun perlahan luntur, dan pariwisata akan kehilangan daya magisnya.
Kini para pencari bangku kuliah berpikir: apa yang akan terjadi 4 atau 5 tahun dari sekarang? Adakah pekerjaan menunggu para sarjana pertanian di masa depan? Atau haruskah mereka menciptakan sendiri pekerjaan itu?
Dunia memang berubah. Tapi satu yang tak pernah berubah: manusia tetap butuh makan.
Maka, mengapa tidak Bali memperluas cakrawala? Jika lahan di Bali tak cukup, mengapa Badung yang kaya tak membeli lahan di luar Bali—Sulawesi, Kalimantan, Papua?
Di sanalah anak-anak muda Bali bisa bertani tanpa kehilangan identitas. Mereka bisa beternak sapi Bali di sabana luas, membuka ladang jagung, membangun sistem pertanian modern yang menjanjikan.
Bertani bukan lagi sekadar menanam padi. Ini tentang membangun kedaulatan pangan. Tentang menjaga budaya. Tentang mempertahankan harga diri.
Anak-anak SMA dan SMK yang baru lulus kini berdiri di pertigaan: apakah mereka akan mengikuti arus zaman, atau kembali ke akar? Pertanian menunggu, bukan dengan kemewahan, tapi dengan kehormatan yang lama terlupakan. (*)
Denpasar, 16 Mei 2025