Buku Seri (5) – Asal Muasal Marga Way Lima Kabupaten Pesawaran
Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Di kaki bukit yang menghadap ke Laut Semaka, hiduplah seorang tua bijaksana bernama Pak Jata. Ia adalah penjaga pusaka adat di Kampung Lumbok Kuning, sebuah desa tua yang tak tercatat di peta, namun hidup dalam ingatan kolektif masyarakat adat Way Lima.
Di tengah gelombang zaman yang membawa internet, telepon pintar, dan sekolah-sekolah bergaya modern, Pak Jata masih duduk setiap sore di bawah pohon waru tua, menyalakan api damar, dan menceritakan kisah asal mula “Piil Pesenggiri” kepada cucu-cucunya.
Suatu malam, cucu sulungnya, Rindu, bertanya, “Apakah adat kita akan punah, Aki?”
Pak Jata tersenyum. “Adat tidak punah, nak. Ia hanya menyesuaikan diri. Tapi kalau kita tidak kenal, ia bisa hilang. Maka kau harus kenal, hafal, dan hidup di dalamnya.”
Kisah ini menjadi pembuka perenungan kita tentang bagaimana adat masyarakat Lampung, khususnya Way Lima, menavigasi kehidupan di era digital dan globalisasi, tanpa kehilangan akar budayanya.
Adat bukan sekadar kebiasaan turun-temurun, melainkan sistem nilai yang membentuk identitas suatu masyarakat. Dalam masyarakat adat Lampung, nilai-nilai seperti piil pesenggiri, sakai sambayan, nemui nyimah, dan nengah nyappur bukan sekadar ungkapan, tetapi prinsip hidup. Namun, pertanyaannya kini adalah: bagaimana nilai-nilai ini bertahan di tengah modernitas?
Masyarakat adat Lampung menghadapi tekanan dari perubahan sosial: teknologi informasi, arus pendidikan formal yang bersifat nasionalis, serta urbanisasi yang menggeser pola hidup kolektif menjadi individual. Nilai-nilai adat terancam dilupakan jika tidak ditransformasikan secara kontekstual.
Globalisasi menghadirkan budaya populer yang dengan mudah dikonsumsi anak-anak muda Lampung. Musik pop, film Korea, dan gaya hidup urban mulai mendominasi. Akibatnya, tarian adat, musik tradisional, dan bahasa Lampung tersingkir secara perlahan dari ruang publik dan ruang keluarga.
Kurikulum pendidikan nasional jarang menyinggung kekayaan lokal secara mendalam. Anak-anak muda Lampung mengenal Majapahit lebih baik dibanding mengenal sejarah Marga Way Lima. Ini menjauhkan mereka dari identitas lokal.
Teknologi memberi peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, ia bisa menjadi media pelestarian. Di sisi lain, jika tanpa kontrol, ia menciptakan keterputusan generasi muda dari nilai adat dan budaya.
Masyarakat Lampung mengalami urbanisasi besar-besaran. Dari kampung ke kota, dari komunitas gotong royong ke apartemen vertikal. Nilai-nilai seperti sakai sambayan tak lagi relevan dalam struktur sosial baru jika tidak disesuaikan.
Beberapa komunitas mulai membuat kanal YouTube berisi pelajaran bahasa Lampung, tutorial membuat siger, hingga konten tentang sejarah marga dan adat. Media sosial menjadi ruang baru untuk pelestarian adat, seperti akun Instagram tentang wastra Lampung.
Inisiatif mendirikan sekolah adat, atau menyisipkan materi muatan lokal dalam pendidikan formal, telah dimulai di beberapa daerah. Anak-anak belajar tidak hanya calistung, tapi juga sejarah marga, nilai adat, dan praktik budaya.
Festival budaya seperti “Festival Sekura” dan “Pekan Adat Lampung” menjadi cara menghidupkan kembali semangat adat secara kolektif dan generasional. Generasi muda dilibatkan sebagai pelaksana agar terjadi transfer nilai secara langsung.
Beberapa wilayah mendorong pembentukan lembaga adat yang berkolaborasi dengan pemerintahan desa/kelurahan. Ini menjaga agar kebijakan pembangunan tetap mempertimbangkan aspek budaya lokal.
Adat bukan hanya untuk seremoni. Nilai-nilai adat Lampung dapat dan seharusnya hadir dalam keseharian:
• Piil Pesenggiri dapat diterjemahkan menjadi semangat integritas dan harga diri dalam dunia kerja dan akademik.
• Sakai Sambayan menjadi dasar kolaborasi komunitas dalam mengatasi masalah bersama.
• Nemui Nyimah menjadi dasar etika sosial dalam menerima dan menghargai perbedaan.
• Nengah Nyappur mendorong warga untuk aktif dalam ruang publik dengan menjunjung tinggi sopan santun.
Jika generasi muda Lampung mengenal adatnya, mereka akan memiliki jangkar nilai dalam hidupnya. Adat bukanlah lawan dari modernitas, melainkan penyaring yang menuntun ke arah modernitas yang berakar. Di tengah dunia yang semakin homogen, adat menjadi pembeda yang memperkuat jati diri.
Adat Lampung tidak akan mati, selama ia dikenang, dipraktikkan, dan diajarkan. Seperti kata Pak Jata, “Adat itu bukan milik masa lalu, tapi pelita untuk masa depan.”
Di era digital ini, menjaga adat tidak cukup hanya dengan upacara tahunan. Ia harus hidup di ruang digital, di bangku sekolah, di meja makan, dan di hati setiap anak Lampung. Karena selama ada yang percaya, adat akan tetap bernyawa. (*)