Oleh ReO Fiksiwan
“Klaim kebenaran mutlak, kepatuhan buta, menetapkan waktu yang ‘ideal’, tujuan menghalalkan segala cara, dan mendeklarasikan perang suci.” — Charles Kimbal (72), When Religion Becomes Evil: Five Warning Signs (2002)
HATIPENA.COM – Di tengah kedigdayaan sains dan ledakan teknologi digital, agama tidak lenyap. Ia justru mengalami mutasi: dari ruang sakral menjadi algoritma, dari doa menjadi data, dari komunitas menjadi followers.
Namun, dalam transformasi ini, agama juga menghadapi musuh-musuhnya—bukan hanya dari luar, tetapi dari dalam dirinya sendiri.
Karl R. Popper (1902-1994) dalam The Open Society and Its Enemies (1945) mengingatkan bahwa setiap sistem tertutup, termasuk agama yang menolak kritik dan pembaruan, berisiko menjadi alat totalitarianisme.
Ketika agama menutup diri dari dialog dan hanya menyuarakan dogma, ia tidak lagi menjadi jalan pencarian makna, melainkan benteng kekuasaan yang menolak keterbukaan.
Anthony Giddens (87) dan Jonathan H. Turner (82) dalam refleksi sosiologis mereka, Social Theory Today (Pustaka Pelajar, 2008), menunjukkan bahwa masyarakat modern bergerak dalam ketidakpastian yang terus-menerus.
Agama, yang dahulu menjadi jangkar identitas dan stabilitas, kini ditantang oleh logika jaringan, oleh kecepatan informasi, dan oleh tuntutan transparansi.
Tantangan-tantangan ini bukan sekadar teknis, melainkan eksistensial.
Ketika agama tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan baru tentang tubuh, gender, lingkungan, dan keadilan digital, ia terancam menjadi relik masa lalu yang hanya dipertahankan oleh nostalgia.
Dalam dunia yang menuntut refleksi kritis dan adaptasi, agama yang statis adalah agama yang perlahan mati.
Sigmund Freud (1856-1939) dalam Civilization and Its Discontents (Edisi Jerman: Das Unbehagen in der Kultur, 1930), menempatkan agama sebagai ilusi yang lahir dari ketegangan antara dorongan naluriah dan tuntutan peradaban.
Agama, menurut Freud, adalah mekanisme sublimasi, pelipur lara atas penderitaan yang tak terhindarkan.
Namun, dalam masyarakat yang semakin mengandalkan teknologi untuk mengatasi penderitaan—dari terapi digital hingga spiritualitas instan—fungsi agama sebagai penghibur mulai digantikan oleh sistem yang lebih cepat dan lebih personal.
Di sinilah muncul “agama digital,” sebuah bentuk spiritualitas yang tidak lagi membutuhkan komunitas, ritus, atau bahkan Tuhan.
Ia cukup dengan notifikasi, meditasi terpandu, dan algoritma yang tahu kapan kita gelisah.
Musuh agama hari ini bukan hanya sains yang mengklaim kebenaran empiris, tetapi juga spiritualitas yang terfragmentasi, yang tidak lagi membutuhkan institusi atau tradisi.
Dalam masyarakat terbuka seperti yang dibayangkan Popper, agama seharusnya menjadi bagian dari dialog, bukan monolog.
Ia harus bersedia diuji, dikritik, dan diperbarui. Jika tidak, ia akan menjadi musuh dari keterbukaan itu sendiri.
Giddens menekankan bahwa institusi sosial, termasuk agama, harus mampu menjawab tantangan-tantangan baru dengan refleksi dan inovasi.
Ketika agama gagal memahami perubahan sosial, ia tidak hanya kehilangan relevansi, tetapi juga kepercayaan.
Freud mungkin benar bahwa agama lahir dari kebutuhan akan makna dan penghiburan. Namun, dalam dunia yang semakin rasional dan terhubung, kebutuhan itu berubah bentuk.
Agama yang tidak mampu mengikuti perubahan ini akan ditinggalkan, bukan karena manusia tidak lagi mencari makna, tetapi karena mereka menemukannya di tempat lain.
Dalam era pasca-kebenaran, agama harus kembali menjadi ruang pencarian, bukan kepastian. Ia harus menjadi tempat bertanya, bukan menjawab dengan dogma.
Musuh agama bukanlah sains, teknologi, atau kritik, melainkan ketakutan untuk berubah.
Agama yang hidup adalah agama yang berani menghadapi musuh-musuhnya—baik yang datang dari luar maupun yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri.
Ia tidak takut pada sains, karena tahu bahwa kebenaran tidak hanya satu.
Ia tidak gentar pada digitalisasi, karena tahu bahwa spiritualitas tidak bisa direduksi menjadi data. Ia tidak menolak kritik, karena tahu bahwa iman yang tidak diuji adalah iman yang rapuh.
Dalam dunia yang terus berubah, agama hanya akan bertahan jika ia menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.
Jika tidak, maka ia akan menjadi monumen sunyi dari masa lalu yang pernah percaya, tetapi tak lagi didengar. (*)
#coverlagu: Bimbo, Ada Anak Bertanya pada Bapaknya(1974). Dirilis ulang dalam album bertajuk Qasidah Bimbo pada tahun 2007,