HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Al-Ghazali dan Filsafat Pelipur

April 23, 2025 09:34
IMG-20250423-WA0024

Oleh ReO Fiksiwan

HATIPENA.COM – Karena aku melihat anak-anak Kristen selalu tumbuh besar dengan memegang teguh agama Kristen, dan anak-anak Yahudi selalu tumbuh besar mematuhi Yudaisme, dan anak-anak Muslim selalu tumbuh besar mengikuti agama Islam…

Akibatnya aku merasakan dorongan batin untuk mencari arti dari fitrah asli[disposisi religius asli], dan arti sebenarnya dari keyakinan yang bangkit melalui meniru keyakinan orang tua dan guru. Aku ingin menyaring keyakinan-keyakinan yang tidak kritis ini…- Al-Ghazali (1058-1111).

Meski konklusi kurang akurat mengatakan bahwa filsafat di dunia Islam mati di tangan Al-Ghazali pada abad XII — setelah biografi intelektualnya The Deliverer from Error (Al-Munqidh min al-Dalal) dan The Incoherence of the Philosophers (Tahâfut al-Falâsifah) ditulis dan terbit — dunia Islam paskah Muawiyah dan kemunculan Abbasiyah di abad kedelapan sedang diterpa berbagai krisis politik dan intelektual.

Mulai dari pembunuhan trio kalifah (Umar-Usman-Ali), para sultan dan runtuhnya dinasti Sasaniyah maupun Seljuk hingga Muawiyah, merupakan sedikit latar yang memengaruhi sejarah kehidupan intelektual Al-Ghazali.

Terlepas dari krisis itu — setelah absen dari kadi dan rektor — produktifitas pemikiran Al-Ghazali sama sekali tidak terganggu.

Bahkan masa pendek hidupnya 52 tahun, justru telah melahirkan tak kurang 300.000 manuskrip, termasuk dua magnum opus yang berkisar pada filsafat dan agama (religious science).

Lalu apa relevansi kehidupan filsafat di tengah doktrin agama yang umumnya merangsang kritik intelektual? Menilik sejarah keduanya — filsafat vs agama atau kini sains vs agama — tampak saling pengaruh itu kental dihidupkan, khusus yang bisa disimak dari biografi intelektual Al-Ghazali.

Jauh sebelum metode keraguan (skeptisisme) itu populer nanti pada abad XVI melalui Rene Descartes (1596-1650) bersama Risalah Metode (Discourse on Method,1637), bersama res cogitans (cogito ergo sum), hampir limaratus tahun sebelumnya telah dikumandangkan Al-Ghazali dalam The Deliverer from Error.

Secara harafiah biografi intelektual ini disalin dalam bahasa populer: Pembebas dari Kesesatan atau sebagai teori ma‘rifah Al-Ghazali.

Dengan kehausan akan kebenaran (al-haqq) dalam filsafat kehidupan, akan tampak dahaga intelektual itu masih berpusar pada metode filsafat pelipur (consolation of philosophy) dari Boethius dalam arti seluas-luasnya.

Karena metode ini khususnya, lewat pencarian Al-Ghazali sangat berpengaruh dalam menghidupkan tradisi sufisme.

Artinya, disiplin diri, kontrol diri dan pengasingan (alienasi) maupun asketisme pengetahuan kaum beragama dan agnotisisme dalam filsafat praktis, tampaknya berakar pada sumber-sumber aktivasi spiritualitas sekaligus intelektualitas.

Dalam arti kata, betapa naif menuduh kematian filsafat berasal dari Al-Ghazali. Bukankah pada era selanjutnya, filsafat Al-Ghazali yang memuncak pada tradisi sufisme (kezuhudan) — sebut saja kerahiban, mistisisme dan selibat di beberapa agama (hinduisme, budhisme, zen, kristen ortodoks dan talmudik) — memiliki makna lain yang disebut Frithjof Schuon (1905-1998) sebagai „unity of transcendent.“

Di antara makna ini, secara leluasa orang bisa memilih antara dimensi empirik (eksoteris) dan dimensi batin(esoteris) untuk mencapai tahap penyatuan transendensi melalui iman maupun akal.

Karena itu „kesatuan transendensi“ Ghazalian itu, akhirnya memerlukan kritik lanjut melalui Ibnu Rusyd (1126-1198) berpuluh tahun kemudian setelah kematian Al-Ghazali pada tahun 1111.

Apa yang masih bisa disimak kembali — dari Tahâfut al-Falâsifah Ghazali dan Tahâfut at-Tahâfut Rusyd — untuk menandai bangkitnya kritik filsafat di dunia Islam?

Betapa. Setelah ortodoksi syariah dan revolusi Muta‘zilah yang berlanjut hingga abad kedelapan dan kesebelas di bawah pengaruh Abbasiyah, warisan konflik iman dan akal tak pernah libur hingga kini.

Dengan kata lain, filsafat masa depan ataupun masa depan filsafat, semestinya lebih dimaknai sebagai pelipur (consolation) antara ketegangan doktrinal dan kebebasan intelektual yang sepenuhnya jadi warisan takdir abadi bumi manusia.

Dan apa yang bisa dihikmatkan pada kehidupan filsafat, tak lain adalah pencapaian dari tiga jalan utama: syariah (markah), haqiqah (capaian) dan ma‘rifah (derajat).

“Kullu sya‘in halikun illa wajhahu,lahul hukmu ilaihi turjaun“ (Segalanya akan binasa,kecuali yang Mahamewujud. Ke sanalah segalanya kembali). (*)