Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Al-Qur’an yang Teralienasi

March 20, 2025 06:06
IMG-20250320-WA0025

Oleh Hamdan eSA

HATIPENA.COM – Ali sedang membersihkan rak bukunya ketika tangannya menyentuh sesuatu yang berdebu. Ia menariknya pelan—ternyata sebuah mushaf Al-Qur’an. Ia meniup debu di sampulnya, lalu tersenyum kecut. “Sudah lama sekali”, gumamnya.

Dulu, saat kecil, ia rajin mengaji bersama kakeknya. Setiap malam, mereka membaca Al-Qur’an bersama. Kakeknya selalu berpesan, “Jangan biarkan Al-Qur’an hanya jadi pajangan. Baca, pahami, amalkan”. Tapi setelah kakeknya wafat, kebiasaan itu ikut menghilang.

Ali membuka halaman pertama, melihat pesan itu tampak berupa catatan kecil di pinggir kertas—tulisan tangan kakeknya sendiri. Ia terdiam sejenak, lalu tiba-tiba ponselnya bergetar di meja. Notifikasi muncul: “Jangan lupa baca Al-Qur’an hari ini”!

Ia melirik layar, lalu menghela napas. Sejak dulu, ia sudah mengunduh aplikasi Al-Qur’an digital di ponselnya. Tapi sejujurnya, ia lebih sering mengabaikan notifikasi itu dibandingkan membukanya.

Ali mengambil ponselnya, membuka aplikasi, dan mulai membaca satu ayat. Tapi setelah beberapa detik, ia tergoda untuk mengecek pesan masuk. Lalu, tanpa sadar, beralih ke media sosial.

Beberapa menit berlalu. Ia kembali menatap mushaf yang masih terbuka di pangkuannya. Entah kenapa, kali ini rasanya berbeda. Ia menutup aplikasi di ponsel, lalu kembali membaca mushaf yang sudah lama terabaikan itu.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia membaca Al-Qur’an tanpa gangguan.

-0-

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan sebagai pedoman hidup bagi umat manusia. Ia mengandung nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan yang seharusnya menjadi panduan dalam membangun peradaban yang beradab.

Namun, semakin “ke sini”, Al-Qur’an nampaknya mengalami proses alienasi—terpinggirkan secara individu, lalu terasingkan dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan bahkan spiritual umat Islam sendiri.

Fenomena ini bukan sekadar karena faktor eksternal, tetapi juga akibat sikap internal umat Islam yang memposisikan Al-Qur’an sebagai symbol sakral dan symbol kemuliaan tanpa penghayatan mendalam. Al-Qur’an diperingati kedatangannya, tetapi diabaikan keberadaannya.

Alienasi terjadi ketika sesuatu kehilangan peran dan relevansinya dalam kehidupan nyata, baik secara individu maupun sosial. Dalam konteks Al-Qur’an, alienasi terjadi saat kitab suci ini tidak lagi menjadi sumber nilai utama, melainkan hanya sebatas formalitas atau ritual seremonial.

Bentuk alienasi ini tampak dalam berbagai aspek. Al-Qur’an sering dibaca tanpa dipahami. Mungkin banyak orang menjadikannya bacaan harian, namun tidak berusaha menggali maknanya lebih dalam. Mungkin pula ada yang memahami isi Al-Qur’an, tetapi tidak mengamalkannya. Nilai-nilai yang diajarkan hanya menjadi teori tanpa penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

Kajian akademis tentang Al-Qur’an juga sering terjebak dalam diskusi teoretis yang jauh dari realitas sosial. Tidak sedikit penelitian keislaman yang mendalami tafsir, sejarah, atau linguistik Al-Qur’an, tetapi belum menghasilkan solusi konkret bagi permasalahan masyarakat.

Sebagai pedoman hidup umat Islam, Al-Qur’an menghadapi tantangan besar saat ini. Sebuah era yang mengantarkannya menjadi teralienasi, terasing dalam kehidupan umatnya. Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap fenomena ini antara lain sekularisasi, materialisme, pemahaman yang kaku, pengaruh media, dan reduksi perannya dalam pendidikan.

Sekularisasi di banyak negara menjauhkan agama—termasuk Al-Qur’an, dari ranah publik, seperti kebijakan negara, ekonomi, dan hukum. Kitab suci ini makin dianggap hanya relevan dalam ibadah, bukan sebagai pedoman dalam berbagai aspek kehidupan. Ia layaknya obat pelarian, hanya dicari saat seseorang sedang didera sakit atau problema hidup.

Selain itu, budaya materialisme dan individualisme mendorong masyarakat lebih berorientasi pada kesuksesan duniawi. Akibatnya, nilai-nilai Al-Qur’an tentang keadilan sosial, kepedulian terhadap sesama, dan kesederhanaan makin terpinggirkan, tidak penting. “Epenkah”? Meminjam istilah Pace Bertus Mop.

Di sisi lain, tidak dapat disangkal, ada kelompok yang memahami Al-Qur’an secara kaku dan literal tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan historis. Hal ini membuat ajaran Islam sulit diadaptasi dalam kehidupan modern, sehingga terkesan tidak relevan.

Perkembangan teknologi dan media sosial juga berkontribusi terhadap alienasi ini. Distraksi digital membuat manusia lebih banyak menghabiskan waktu dengan hiburan daripada mendalami isi Al-Qur’an.

Faktor lainnya adalah berkurangnya peran Al-Qur’an dalam pendidikan. Di banyak tempat, pendidikan agama Islam makin berkurang, sehingga generasi muda tidak memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kitab suci ini. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang lebih mengutamakan rasionalitas modern daripada nilai-nilai spiritual yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Semua faktor ini mempercepat keterasingan Al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat Muslim.

Alienasi Al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat membawa dampak serius, terutama dalam aspek moral, identitas, dan esensi keberagamaan. Ketika ajaran Al-Qur’an tidak lagi dipandang penting, krisis moral dan sosial pun semakin nyata. Korupsi, ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, serta rendahnya kepedulian terhadap sesama menjadi fenomena yang umum terjadi.

Selain itu, Al-Qur’an merupakan pusat identitas umat Islam. Ketika nilai-nilainya terabaikan, umat kehilangan pijakan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan modernisasi. Hal ini membuat mereka mudah terpengaruh oleh ideologi lain yang melemahkan solidaritas dan prinsip Islam.

Di sisi lain, tidak jarang, Islam hanya dipahami secara formalitas. Ia semarak terlihat dalam simbol-simbol seperti pakaian, arsitektur masjid, atau ajang lomba, tetapi tidak diimplementasikan dalam keadilan sosial, pemerintahan yang bersih, dan perilaku individu yang mencerminkan nilai-nilai Al-Qur’an.

Untuk membangkitkan kembali peran Al-Qur’an dalam kehidupan, diperlukan upaya strategis agar kitab suci ini menjadi pedoman utama umat Islam. Al-Qur’an harus dibaca dengan pemahaman mendalam, bukan sekadar ritual. Tafsirnya perlu dikembangkan agar relevan dengan isu-isu sosial seperti keadilan, ekologi, dan teknologi.

Selain itu, pendidikan Islam harus menjadikan Al-Qur’an sebagai pusat kurikulum, tidak hanya dalam hafalan tetapi juga pemahaman dan pengamalannya. Dakwah juga perlu lebih humanis, menekankan nilai-nilai kasih sayang dan solusi kehidupan. Terakhir, pemanfaatan teknologi digital dapat membantu generasi muda lebih dekat dengan Al-Qur’an melalui tafsir dan kajian yang mudah diakses. Membumi, bukan melangit.

Nuzulul Qur’an pada setiap Ramadhan, mestinya tidak sekadar moment peringatan turunnya, melainkan juga sebagai penyambutan atas kedatangannya kembali ke konteks yang baru. (*)

Wallahu a’lam.

Madatte Polman, 20 Maret 2025.