HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Almithra: Menjadi Diri dalam Cinta yang Membebaskan

August 22, 2025 12:53
IMG-20250822-WA0050

Oleh ReO Fiksiwan

“Aetas senilis, praesertim honesta, tantam habet auctoritatem ut haec sit potior quam omnis voluptas iuventutis”

HATIPENA.COM – “Usia tua, terutama usia tua yang terhormat, memiliki otoritas yang begitu besar sehingga ini lebih bernilai daripada semua kesenangan kaum muda.“ — Cicero (106-43 SM), De Senectute (Tentang Usia Tua, 44 SM).

Hari ulang tahun Almithra Putri Ointoe, hari ini(22/8/25), bukan sekadar penanda bertambahnya usia, melainkan sebuah momen reflektif yang menyentuh lapisan terdalam dari makna keberadaan dan hubungan manusia.

Di tengah hiruk pikuk Jakarta, tempat ia kini menjalani hidup secara mandiri, Almithra tumbuh sebagai pribadi yang tidak hanya matang secara intelektual, tetapi juga spiritual.

Ia adalah cerminan dari cinta yang tumbuh dalam ruang keluarga yang penuh penerimaan, dialog, dan kebebasan menjadi diri sendiri.

Carl Rogers pernah menulis bahwa inti dari pertumbuhan pribadi adalah lingkungan yang menyediakan “unconditional positive regard“, penghargaan tanpa syarat.

Dalam konteks keluarga Almithra, hal ini bukan sekadar teori, melainkan praktik yang hidup.

Ayah, Reiner Emyot Ointoe, seorang yang dikenal sebagai fiksiwan dan aktivis intelektual publik, Ibunya, Terry Heesye Sigar, alumni FIB Prodi Sastra Jerman Unsrat, sebagai orang tua, telah menjadi figur yang tidak hanya membimbing, tetapi juga mendengarkan.

Mereka tidak memaksakan bentuk ideal anak, melainkan membuka ruang bagi Almithra untuk menemukan dirinya sendiri.

Dalam proses itu, lahirlah seorang putri yang tidak hanya tahu apa yang ia inginkan, tetapi juga memahami siapa dirinya dalam relasi dengan dunia.

Sejak TK BNI di Wanea, ke SDN 11 Jl. Sarapung, ke MIS (Manado International Scholl) Minahasa Utara dan SMA Binsus dan akhirnya memilih kuliah di BINUS Jakarta, itu pilihannya sendiri, di tengah kedua orang tuanya memiliki keterbatasan finansial.

Karena di dua sekolah terakhir, MIS dan Binsus, hingga memilih kuliah di BINUS Jakarta, semua itu sekolah dan universitas unggulan.

Namun, dengan dukungan penuh orang tua dan niat teguh, Almithra bisa menyelesaikan tepat waktu, double degree, S.Kom dan SE pada 2020.

Psikolog dan filsuf Erick Fromm, dalam Die Kunst der Liebe, menekankan bahwa cinta sejati adalah tindakan aktif yang melibatkan perhatian, tanggung jawab, pengetahuan, dan penghargaan terhadap yang dicintai.

Relasi Almithra dengan kakaknya, M. Aldin Ointoe, adalah contoh nyata dari cinta yang tumbuh dalam dinamika yang kadang kompleks, namun selalu berakar pada rasa saling menghargai.

Sebagai kakak, Aldin bukan hanya menjadi pelindung, tetapi juga cermin tempat Almithra belajar mengenali dirinya.

Nyaris, kedua sejak kecil tak pernah bertengkar dan tidak juga saling atas porsi dan jatah kebutuhan mereka masing-masing.

Semisal, membeli mainan bahkan ketika sang kakak di SMPN 11, dan adiknya di SDN 11, justru Almithra yang minta dibekali hp nokia ketika, dan akhirnya ditipu seorang ibu meminjamnya dan menghilang.

Dalam kenangan itu, segala bak air teduh yang kadang beriak telah dilampaui.

Dibkeheningan dan dalam percakapan yang diam, mereka membangun jembatan emosional yang memperkuat identitas masing-masing.

Kini, di usia yang terus bertambah, Almithra tidak hanya merayakan hidup, tetapi juga merayakan proses menjadi.

Ia telah melangkah keluar dari rumah, namun jejak spiritual dan psikologis dari rumah itu tetap menyertainya.

Ia membawa serta nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tuanya—keberanian untuk berpikir sendiri, kelembutan dalam berelasi, dan keteguhan dalam menghadapi dunia.

Dalam setiap langkahnya, ada gema dari cinta yang tidak mengekang, tetapi membebaskan.

Ulang tahun Almithra, hari ini tentunya, adalah perayaan bukan hanya atas kelahiran, tetapi atas keberanian untuk hidup secara autentik.

Ia adalah bukti bahwa ketika cinta dan kebebasan bertemu, lahirlah manusia yang utuh.

Dan dalam keutuhan itu, kita semua—orang tua, saudara, dan dunia di sekitarnya—ikut merayakan cahaya yang ia pancarkan.

Dalam refleksi lain, khusus perspektif filosofis dan religius dari hujjatul Islam Al-Ghazali, teolog asyariah yang dianut ayahnya, ikut memperkaya pemahaman kita tentang usia sebagai perjalanan spiritual, bukan sekadar angka yang bertambah.

Al-Ghazali, dalam karya-karya seperti Ihya Ulum al-Din maupun Manthiq Min Al-Dhalal, memandang usia sebagai anugerah sekaligus tanggung jawab eksistensial,tajali.

Ia menekankan bahwa setiap detik kehidupan adalah kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan bahwa kesadaran akan kefanaan adalah pintu menuju kebijaksanaan.

Menurut Al-Ghazali, manusia sering terjebak dalam ilusi waktu yang panjang, padahal hidup sejatinya adalah rangkaian momen yang harus diisi dengan makna.

Dalam perspektif ini, Almithra, yang kini menjalani hidup secara mandiri di Jakarta, usia bukan hanya tentang pencapaian duniawi, tetapi tentang bagaimana ia mengisi ruang batinnya dengan kesadaran, cinta, dan pengabdian.

Ia telah melangkah keluar dari rumah, namun dalam dirinya tetap hidup nilai-nilai spiritual yang ditanamkan sejak kecil—kesadaran akan tanggung jawab diri, keikhlasan dalam berbuat, dan pencarian makna yang lebih tinggi.

Al-Ghazali juga menekankan pentingnya muhasabah—introspeksi diri—sebagai cara untuk memahami perjalanan hidup.

Ulang tahun menjadi momen yang tepat untuk itu: bukan sekadar perayaan, tetapi perenungan tentang siapa kita, untuk apa kita hidup, dan bagaimana kita telah mencintai.

Dalam relasinya dengan orang tua dan kakaknya, Almithra telah menunjukkan bahwa cinta bukan hanya emosi, tetapi juga bentuk ibadah.

Ia mencintai dengan kesadaran, dengan tanggung jawab, dan dengan penghargaan terhadap keberadaan orang lain—sebuah praktik spiritual yang sejalan dengan ajaran Al-Ghazali tentang cinta, mahabah ilallah, sebagai jalan menuju Tuhan.

Dengan demikian, ulang tahun Almithra bukan hanya peristiwa pribadi, tetapi juga peristiwa spiritual.

Ia adalah pengingat bahwa usia adalah amanah, bahwa waktu adalah ladang untuk menanam kebaikan, dan bahwa hidup yang dijalani dengan cinta dan kesadaran adalah bentuk tertinggi dari syukur.

Dalam dirinya, kita melihat bukan hanya seorang putri yang tumbuh, tetapi seorang jiwa yang terus mencari cahaya, zulumati illan nur, untuk meneguhkan: an-nafs mutmainah. (*)

Happy Milad Almithra. Barakallahu fii umuriq.

An der Liebe:
Reiner Emyot Ointoe
Terry Heesye Sigar
M. Aldin Ointoe

Jakarta, 22 Agustus 2025