Gunawan Handoko
Ketua Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) Lampung
HATIPENA.COM – Di media sosial, hari ini sedang ramai dibicarakan soal guru besar yang memperebutkan kursi Dewan Pendidikan Provinsi Lampung. Bukan satu bukan dua tapi 10 orang. Saya yakin, karya tulis yang dilampirkannya lebih banyak teori pedagogisnya ketimbang 101 calon lainnya yang juga lolos seleksi administrasi.
Tapi ini baru pertama kali para guru besar berbondong-bondong ikut perekrutan Dewan Pendidikan. Karena sebelumnya, cuma penunjukan berdasarkan perwakilan perguruan tinggi, organisasi profesi, atau Ormas. Semoga ini bukan panggilan update curriculum vitae atau lampiran biodata akademik, tetapi panggilan hati nurani.
Kalau mau jujur, tugas profesor itu sudah cukup berat, lho. Banyak orang menduga profesor itu hanya tanda tangan, duduk manis, lalu dapat tunjangan. Salah besar! Kewajiban mereka seabrek, karena wajib menjalankan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Di antaranya, mengajar mahasiswa, terutama S-2 dan S-3, membuat riset, menulis karya ilmiah, minimal publikasi pada jurnal internasional yang terindeks seperti Scopus atau WoS. Jika tidak produktif dan abai dengan tugas-tugas guru besar, bisa kena tegur Dirjen Dikti.
Itu saja sudah seperti kerja magang di warung Madura – tiga shift tanpa lembur. Kalau publikasi sempat mandek, bukan hanya reputasi yang anjlok, tapi tunjangan kehormatan terancam dicabut. Jadi, guru besar itu bukan tiket pensiun dini dengan magabut alias makan gaji buta, melainkan maraton intelektual sampai akhir hayat.
Scopus itu ibarat rumah mewah buat para guru besar. Kalau tulisannya nongol di sana, berarti kemampuannya sudah setara kelas internasional. Tapi kalau tidak, ya banyak-banyak latihan nulis, kalau perlu minta bimbingan dengan penggiat literasi. Karena faktanya, banyak guru besar yang tidak mahir menulis.
Para guru besar sering berlomba masuk Scopus supaya memiliki H-index tinggi. Ini seperti “angka keramat” yang dapat membuat para profesor itu makin dipandang. Mirip seperti jumlah subscriber YouTube, cuma bedanya YouTuber dapat adsense, sedangkan guru besar dapat royalti atas penjualan buku atau temuan teorinya.
Scopus juga punya kelasnya: Q1, Q2, Q3, sampai Q4. Kalau karya tulisnya masuk kelas Q1, itu seperti masuk restoran Padang bintang lima. Sedangkan kalau Q4, ibarat makan di warteg yang cuma sekadar kenyang. Bedanya, kalau salah submit di jurnal Scopus bisa bikin sakit hati karena ditolak reviewer, sedangkan kalau salah pesan makanan paling sakit perut doang.
Belum lagi soal tanggung jawab bimbingan. Mahasiswa pascasarjana itu butuh perhatian dan arahan untuk menggunakan teori ilmiah dan analisis yang detail. Membimbing mahasiswa membuat tesis dan disertasi tak bisa pakai mantra bim salabim seperti disertasi Bahlil. Guru besar harus menyiapkan mental menjadi konsultan akademik ditambah jadi psikiater darurat. Karena bisa saja mahasiswa nangis di toilet, setiap usai bimbingan berakhir.
Tugas lainnya yang tidak kalah berat, yaitu menjaga marwah keilmuan. Ini yang penting! Guru besar harus menjadi role model, baik di kampus maupun di depan publik. Kalau seorang profesor asal ngomong, kredibilitas akademiknya juga bisa runtuh. Singkatnya, guru besar itu benteng terakhir rasionalitas dan moralitas. Bukan komentator dadakan wajib belajar 13 tahun, sesuai Undang-undang Sisdiknas.
Para profesor itu juga dituntut untuk menyusun buku ajar. Sangking rumitnya, kadang sulit dipahami bagi mahasiswa yang kurang mendapat “kasih sayang” guru besarnya, dan akhirnya menjadi bungkus gorengan. Lalu, apakah mereka punya waktu di Dewan Pendidikan?
Jadi agak janggal kalau tiba-tiba profesor ikut mengurusi anak didik mulai dari PAUD sampai tingkat menengah. Satirnya begini: profesor itu seharusnya melahirkan doktor, bukan justru ikut debat literasi kelas 12. Itu seperti guru besar fisika kuantum mengawasi lomba menggambar anak usia dini!
Hari ini, mental oportunis makin jadi pilihan karena selalu mendatangkan keuntungan, tidak peduli konteks, aturan, atau mempertimbangkan kepentingan orang lain. Kalau ada posisi yang basah langsung mencari sabun mandi. Tapi kalau posisinya kering, dia pura-pura lupa handuk.
Maka dalam dunia satire, mental oportunis bisa digambarkan, “Seperti dosen metodologi riset dan penelitian yang membuat teori baru bahwa ‘metode yang terbaik adalah metode yang paling cepat membuat saya naik jabatan”.
Karena itu, yang sangat dikhawatirkan, keikutsertaan para guru besar di Dewan Pendidikan, justru akan mendegradasi gelar akademik yang melekat pada dirinya. Guru besar yang seharusnya sibuk dengan epistemologi, justru terjebak dalam birokrasi ala “absensi rapat kelurahan”.
Negara sudah keluar biaya menggaji para profesor untuk mencetak para magister dan doktor yang berkualitas. Tapi di sela-sela tanggung jawabnya itu, mereka mencuri kesempatan untuk berkegiatan di Dewan Pendidikan. Bukankah ini tindakan korupsi? Minimal “korupsi waktu”. Mahasiswa pascasarjana yang seharusnya mendapat perhatian paripurna, waktunya malah dipakai untuk hal-hal yang bukan menjadi tanggung jawabnya.
Lalu bagaimana dengan guru besar yang menduduki jabatan penting, seperti wakil rektor? Apakah mereka tak diberi peran oleh atasannya? Ini sebuah anomali, ketika pejabat lain di rektorat sibuk menghadapi civitas akademika, ia malah sibuk mengurusi hal lain.
Persoalan Serius
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung Thomas Amirico pernah menyampaikan, bahwa Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) dilanda masalah serius. Data BPS 2024 menyebutkan, indeks rata-rata provinsi berada di angka 64,81 atau lebih rendah dari rata-rata nasional 73,75.
Dengan jumlah penduduk Lampung 9,3 juta jiwa dan 1,8 juta civitas sekolah, potensi literasi kita seharusnya meledak. Tetapi nyatanya, Tingkat Kegemaran Membaca (TKM) siswa kita hanya 67,67, sudah hampir masuk UGD literasi.
Nah, di tengah kondisi seperti ini, lalu muncul drama baru: para profesor turun gunung berebut kursi Dewan Pendidikan. Kalau IPLM Lampung ketinggalan kereta, apakah para guru besar itu bisa jadi lokomotif yang sanggup menariknya?
Guru besar memang memiliki segudang gelar. Tapi apakah gelar itu bisa otomatis menaikkan indeks literasi? Ini bukan soal teori metodologi penelitian, melainkan soal gen-z yang lebih doyan baca whatsapp daripada buku paket. Apakah bisa mengusir mereka dari warnet menggunakan teori regresi linear?
Menerjunkan guru besar ke Dewan Pendidikan, sama absurdnya seperti memanggil dokter spesialis bedah saraf untuk operasi bisul, yang justru membuat pasien ketakutan. Bayangkan, anak SMP tiba-tiba disuruh membuat resensi buku, tapi yang mengoreksi seorang guru besar dengan footnote sepanjang tali beruk.
Jika guru besar masuk Dewan Pendidikan, jaminan apa yang bisa diberikan? Apakah indeks literasi bisa langsung melompat ke angka 90, lalu Lampung menjadi Finlandia-nya Indonesia? Atau bisa jadi malah membuat literasi tambah hancur karena waktunya habis buat rapat akademik di kampusnya, sementara anak didik itu tetap berpikir bahwa membaca buku itu hukuman, bukan kesenangan.
Indeks literasi di Lampung itu ibarat nilai ujian akhir tetapi nilainya nyaris masuk zona merah, yang dipanggil malah penguji disertasi untuk remedial. Padahal, yang diperlukan anak-anak itu bukan kuliah umum teori membaca kritis, tapi buku yang enak dibaca, guru yang sabar, dan perpustakaan yang buka sampai hari minggu. Bukan guru besar yang lebih sibuk mengejar Scopus daripada mengejar minat baca anak-anak dari SD sampai SMA.
Lalu, apakah panitia seleksi salah jika menerima guru besar dalam perekrutan Dewan Pendidikan? Tentu saja tidak salah. Tetapi alangkah elegennya dan sangat terhormat jika para guru besar itu mendapat panggilan untuk mewakafkan waktunya di Dewan Pendidikan, jika diperlukan. Profesor tidak harus menyodorkan diri, karena ini akan mengurangi nilai keikhlasan dan kerelaan serta jauh dari prinsip relawan.
Intinya, Dewan Pendidikan itu sebaiknya jadi wadah relawan, bukan gelanggang gladiator para guru besar. Kalau niatnya sekadar gengsi, biarlah indek literasi tetap jadi angka di statistik, sementara literasi masyarakat dibiarkan menurun. Biarlah yang membaca data BPS itu hanya pejabat, sementara rakyat tetap membaca nasibnya. (*)
Bandar Lampung, 28 September 2025