Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Followers saya pasti orang baik semua. Bahkan, mereka juga setiap hari mengajak orang berbuat baik. Mereka menginginkan seluruh dunia berisi orang baik. Nah, apa yang terjadi bila semua orang menjadi baik. Sambil seruput kopi americano di kafe baru, Teduh Coffee di Jalan Dansen Pontianak, mari kita kupas orang baik.
Bayangkan, wak! Wahai jiwa-jiwa yang mendamba utopia, sebuah dunia tempat semua orang adalah… baik. Bukan baik dalam artian yang berselimut kemunafikan sosial, bukan pula baik karena takut masuk neraka. Tapi baik yang murni. Baik yang steril. Baik yang dijual dalam toples kaca kedap udara, disimpan dalam museum moralitas universal.
Di dunia ini, tidak ada orang mencuri. Maka matilah profesi gembok. Tukang patri gulung tikar, dan CCTV tinggal mitos masa lalu. Koruptor tinggal legenda urban yang dibisikkan ibu-ibu kepada anaknya agar cepat tidur, “Nak, dulu ada makhluk bernama pejabat nakal. Tapi itu dulu, sebelum kiamat nurani digelar dan dunia dijajah para malaikat.”
Semuanya saling memberi jalan. Di persimpangan, kendaraan saling berhenti tanpa ada yang ingin duluan. Lalu macetlah dunia karena terlalu sopan. “Silakan kau dulu.” “Ah, tidak, saya saja menunggu kiamat.” Begitu dialognya.
Di warung makan, semua orang membayar lebih. Tukang nasi goreng naik haji setiap bulan karena diberi tips sebesar pajak negara Skandinavia. Uang melimpah, tapi kehilangan makna karena tak ada lagi yang mencuri, menipu, atau menjual keputusasaan lewat iklan whitening serum.
Orang-orang saling memaafkan bahkan sebelum ada yang bersalah. Maka pengadilan menjadi teater kosong, hakim menggantung palu di dinding museum keadilan yang berkarat oleh terlalu banyak kedamaian. Penjara pun berubah fungsi menjadi tempat meditasi kaum galau, karena tak ada lagi yang bisa ditangkap selain kenangan masa lalu.
Politikus tidak berjanji palsu. Mereka menepati semuanya. Sayangnya, tanpa janji palsu, rakyat kehilangan bahan gosip. Warung kopi bangkrut, Facebook sepi, Tiktok jadi padang tandus yang tak lagi dihuni makhluk-makhluk berkepala dua dan jari cepat. Satire menjadi yatim piatu, karena semua terlalu baik untuk ditertawakan.
Media kehilangan berita. Judul-judul jadi garing, “Hari Ini Semua Orang Tersenyum Lagi.” “Anjing dan Kucing Berdamai, Akan Menikah Pekan Depan.” Drama Korea digantikan oleh tayangan dua manusia saling menghormati dan berbicara dengan intonasi lembut selama 16 episode. Membosankan.
Ente tahu apa yang terjadi pada para filsuf? Mereka pun bunuh diri… karena tak ada lagi kontradiksi. Dunia terlalu sempurna. Tak ada yang bisa dipikirkan. Semua pertanyaan telah dijawab oleh satu kata, kebaikan. Mereka mati tercekik oleh absennya ironi.
Ah, dunia di mana semua orang baik. Sebuah taman surgawi yang membosankan, tempat tidak ada lagi puisi lahir dari luka, tidak ada lagi revolusi dari kehancuran, dan tidak ada lagi seniman yang mabuk oleh getirnya eksistensi. Dunia steril. Dunia penuh aroma disinfektan moralitas.
Karena sejatinya, kebaikan yang terlalu merata bukanlah kebaikan, melainkan kutukan yang dibungkus pita emas.
Sebab tanpa kejahatan, kita tak tahu caranya bersyukur.
Tanpa luka, kita tak kenal indahnya sembuh.
Tanpa kehadiran si jahat, siapa yang akan kita tunjuk sebagai musuh,
saat cermin menunjukkan wajah kita sendiri?
Apakah ente orang baik? Atau, kadang baik, kadang jahat? Silakan jawab sendiri sambil ngopi, wak. (*)
#camanewak