Novita Sari Yahya
HATIPENA.COM – Pertanyaan ini muncul ketika saya membaca postingan di Twitter yang ditulis oleh seorang dokter. Tulisan lengkapnya adalah: “Ibu saya Farida Hanum Bustamam mengatakan bahwa saat menjadi dokter, kita bisa menyembuhkan banyak orang. Kemudian, diberikan makna tambahan oleh guru neurointervensi saya, Prof. Jao Li Qun, bahwa dengan menjadi dokter peneliti, kita akan menyembuhkan ribuan orang lebih banyak. Akan tetapi, satu pesan yang selalu tergiang di kepala saya adalah ucapan Dr. Sun Yat Sen, yaitu jika menjadi seorang dokter revolusioner, maka dapat menyembuhkan satu bangsa.”
Definisi Dokter Revolusioner
Berdasarkan beberapa referensi, pengertian dokter revolusioner adalah dokter yang tidak hanya menjalankan praktik kedokteran, tetapi juga berperan aktif dalam perubahan sosial, politik, dan kemerdekaan suatu bangsa. Mereka menggunakan keilmuan dan posisi mereka untuk melawan penindasan, menyebarkan gagasan baru tentang kesetaraan dan pendidikan, serta menginisiasi gerakan untuk kemerdekaan.
Contoh Dokter Revolusioner
Beberapa contoh dokter revolusioner adalah:
- Dr. Wahidin Soedirohoesodo (Indonesia)
- Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (Indonesia)
- Dr. José Rizal (Filipina)
- Dr. Ernesto “Che” Guevara (Argentina/Kuba)
- Dr. Sun Yat-sen (China)
6.Dr. . Radjiman Wedyodiningrat (Indonesia) - Drg. Moestopo (Indonesia)
- Dr. Sagaf Yahya (Indonesia)
Saya merasa bangga ketika membaca bahwa beberapa dokter Indonesia tercatat sebagai dokter revolusioner. Perjuangan mereka tidak hanya terbatas pada praktik kedokteran, tetapi juga melibatkan perubahan sosial dan politik yang signifikan. Dan yang membuat saya senyum adalah nama kakek saya, dr. Sagaf Yahya, tercantum sejajar dengan dokter revolusioner lainnya dari seluruh dunia.
Saya akan menceritakan kisah kakek saya sebagai dokter revolusioner yang jarang ditulis dalam sejarah. Ayah saya, dr. Enir Reni Sagaf Yahya, menceritakan bahwa ketika berusia 5 tahun, dia mengantarkan makanan ke penjara untuk ayahnya yang dipenjara oleh Jepang.
Dr. Sagaf Yahya, Pendiri Partai Parindra di Jambi
Dr. Sagaf Yahya adalah pendiri Partai Parindra di Jambi pada tahun 1935. Partai ini merupakan partai terbesar dengan sistem kaderisasi terbaik, terutama di kalangan pemuda. Partai ini disiapkan untuk kemerdekaan Indonesia. Ketika Jepang masuk ke Jambi pada tahun 1942, dr. Sagaf Yahya dipenjarakan selama 3 tahun karena dianggap sebagai pendiri partai dan persiapan untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah pembebasan, dr. Sagaf Yahya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jambi dan menjadi Residen pertama Jambi pada tahun 1945.
Pengalaman Ayah Saya
Ayah saya juga menceritakan tentang pengalaman dia sebagai mahasiswa kedokteran yang bergabung dengan PRRI. Banyak temannya yang meninggal dalam perjuangan tersebut. Setelah amnesti oleh Soekarno, ayah saya melanjutkan kuliah di FK UNAND dan menjadi dokter puskesmas, RSUD, dan bekerja di Kelantan Malaysia.
Dokter Revolusioner Perjalanan hidup di penjarakan, terbunuh dan di singkirkan
Gambaran nyata ini merupakan bagian dari kehidupan saya yang diceritakan kembali untuk mengingatkan tentang sejarah nyata dokter revolusioner. Mereka dipenjara, terbunuh, dan disingkirkan karena pengkhianatan. Bagaimana dengan dokter revolusioner zaman Orde Baru? Saya menulis tentang Hariman Siregar, yang merupakan contoh dokter revolusioner yang menjalani kehidupan pahit sebagai aktivis Indonesia.
Dokter Revolusioner Zaman Orde Baru
Ketika menulis tentang dokter revolusioner zaman Orde Baru, saya teringat pada Hariman Siregar. Bagi saya, Hariman Siregar adalah contoh dokter revolusioner yang menjalani kehidupan pahit sebagai aktivis Indonesia. Saya tertarik menuliskan pandangan Hariman Siregar tentang dokter revolusioner yang bertindak dalam perubahan sosial dan politik.
Dengan demikian, tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang dokter revolusioner dan peran mereka dalam perubahan sosial dan politik di Indonesia.
Dokter revolusioner Hariman Siregar harus menghadapi berbagai tantangan berat setelah peristiwa Malari 1974. Ia mendekam di penjara, kehilangan bayi kembar, sang istri yang hilang ingatan, wafatnya sang ayah, serta mertuanya, Prof. Sarbini Soemawinata, yang juga mendekam di penjara.
Peristiwa Malari dan deretan peristiwa kehidupan Hariman Siregar di penjara menyebabkan ia jarang menyinggung masa-masa ini. Kalaupun ia mengisahkannya, selalu dengan mata berkaca, pertanda ia tak mampu menahan kesedihan bila mengenang masa-masa tersebut. Namun, Hariman segera menyadari bahwa itulah konsekuensi yang harus ditanggungnya atas sikap kritisnya terhadap rezim Orde Baru.
Semua kesedihan itu merupakan harga yang harus dibayarnya karena melawan suatu rezim otoriter dan represif. Sebagai ekspresi kesedihan itu, selama di penjara Hariman selalu menuangkannya dalam catatan harian. “Namun, bila membaca kembali catatan harian itu hanyalah kecengengan belaka. Sekadar uraian perasaan dan pikiran yang mendatangkan kesedihan. Padahal, gue nggak boleh lengah apalagi kalah oleh kesedihan. Gue harus mampu membuat diri gue sendiri menjadi kuat. Gue sedang melawan kekuasaan Soeharto, sampai mati gue nggak boleh kalah. Kita mesti kuat, meskipun dia (Soeharto) terus menginjak-injak kita,” begitulah tekad Hariman.
Hariman bertekad tak mau kalah dalam menghadapi rezim Soeharto, meski badannya mendekam di penjara. Ia mengenang masa-masa mendekam di penjara: “Di penjara sebenarnya gue sedang berhadapan juga dengan kekuasaan Soeharto dalam wujudnya yang lain. Di penjara kekuasaan itu dimanifestasikan melalui sipir penjara, prajurit penjaga, petugas pengawal, bahkan lewat benda mati seperti tembok dan gembok! Kalau kita sudah dikunci di dalam sel, kita tak bisa melawan kekuasaan tembok dan gembok. Kita tak bisa lagi melawan prajurit dan penjaga penjara yang mengunci sel. Wujud kekuasaan kini berganti. Tidak lagi berupa sosok Soeharto, melainkan bunyi ‘klik’ misterius ketika pintu sel kita digembok dari luar. Dan suara ‘klik’ itu sungguh menimbulkan rasa kebencian yang amat sangat. Karena secara telak kita menyadari bahwa kita sangat tidak berdaya. Tidak memiliki kekuatan perlawanan apa pun, kecuali kepasrahan.”
Apa yang dialami Hariman Siregar adalah peristiwa yang dialami oleh semua dokter revolusioner di dunia. Saya menceritakan bagaimana kakek saya, dr. Sagaf Yahya, dipenjarakan Jepang dan tentu mengalami hal yang sama, ketakutan di dalam penjara, penyiksaan fisik dan psikis sehingga menderita asma berat setelah keluar dari penjara Jepang. Akibat asma berat, terpaksa menyuntik dirinya sendiri kalau asmanya kambuh. Diminta lengser dari jabatan Residen pertama Jambi dengan alasan kesehatan yang tidak memungkinkan untuk menjalankan pemerintahan. Mungkin alasan lainnya karena politik.
Begitu juga pengalaman ayah saya sebagai mahasiswa yang terlibat di PRRI. Melihat dan menyaksikan temannya sesama mahasiswa kedokteran mati tertembak atau disiksa kalau tertangkap. Cerita ini menjadi penting untuk memahami apakah siap menjadi dokter revolusioner, berperang dengan ketakutan, kelaparan, tersingkirkan, bahkan kehilangan orang-orang yang disayangi.
Bagi saya, menjadi dokter revolusioner adalah seperti pernyataan Hariman Siregar
Hal yang menarik bagi saya tentang Hariman Siregar, dokter revolusioner generasi ketiga yang dijuluki media, adalah pidatonya di ujung tahun 1973 dengan judul “Pidato Pernyataan Diri Mahasiswa” di hadapan dosen dan mahasiswa dari Jakarta, Bogor, dan Bandung. Pidato tersebut begitu menghentak dan meledak-ledak.
Penggalan pidato tersebut adalah: “Kita menerima kenyataan pahit bahwa kenaikan bantuan luar negeri dan modal asing adalah merugikan Indonesia. Masalahnya adalah bahwa sumber-sumber luar tadi tidak menguntungkan rakyat banyak, tidak sampai kepada rakyat banyak. Jelas, elite penguasa di Indonesia tidak mau bertanggung jawab untuk soal ini. Kepada para koruptor penjual bangsa, pencatut-pencatut sumber alam Indonesia yang mengejar-ngejar komisi sepuluh persen, kami serukan: bersiap-siaplah menghadapi gerakan kami yang akan datang.”
Pernyataan Hariman Siregar tentang bagaimana tugas dokter revolusioner juga sangat menarik. Menurutnya, tugas dokter revolusioner bukan hanya mengobati pasien di pelayanan, tetapi juga menggerakkan revolusi melawan ketidakadilan, kesenjangan sosial, serta melawan penindasan, termasuk memperjuangkan kemerdekaan.
Pertanyaannya adalah: dengan kondisi Indonesia hari ini,
- Apakah sudah harus muncul dokter revolusioner generasi keempat?
- Apakah dokter hari ini sudah siap menghadapi risiko dari perjuangan seperti generasi pertama, kedua, dan ketiga?
- Apakah semangat revolusioner generasi dokter sebelumnya masih ada dalam pemikiran, jiwa, dan dokter Indonesia hari ini?
Jawabannya ada pada diri dokter Indonesia yang membaca tulisan ini. Hidup perjuangan rakyat! Merdeka, merdeka, merdeka 100 persen! (*)
Referensi:
- Husin Akip Cs Kibarkan Bendera di Menara Air –
https://share.google/GQFDgjvHI8jJmz4KZ - Hasibuan, I., Airlambang, & Yosef Rizal. (2011). Hariman dan Malari: Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing. Jakarta: Q-Communication.
- Hariman, Malari, dan Generasi Ketiga Dokter Pergerakan – KBA News https://share.google/RVLQzdqu2JzG530R3
- Peristiwa Malari 1974: Demonstrasi Tolak Kunjungan PM Jepang Kakuei Tanaka Berujung Rusuh | https://share.google/0gfcLK9Ii8qYFFr1x
- PRRI, Uji Nyali Orang Minang Lawan Soekarno – Prokabar https://share.google/WJaaVJ5rXvJ1PX4er
- Zainuddin, R., dkk. (1978/1979). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Novita Sari Yahya
Kegiatan sehari-hari penulis dan peneliti.
Penulis buku
1..Romansa Cinta
2.Padusi: Alam Takambang Jadi Guru
- Novita & Kebangsaan
- Makna di setiap rasa antologi 100 puisi bersertifikat lomba nasional dan internasional
- Siluet cinta, pelangi rindu
- Self Love : Rumah Perlindungan Diri.
Kontak pembelian buku : 089520018812
Instagram: @novita.kebangsaan