Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Permisi, Kemenakertrans dan Disnaker. Saya nak kampanye “ape bende” Sertifikat K3. Istilah “ape bende” artinya “apa itu” yang populer di Pontianak. Kenapa si jagoan kita, Noel harus memeras perusahaan untuk mendapatkan selembar kertas itu?
Simak narasinya, wak. Jangan lupa, kopi liberika. Gini ceritanya. K3 adalah singkatan dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Sertifikat K3 adalah bukti bahwa seseorang atau perusahaan sudah cukup kompeten untuk tidak mati konyol di tempat kerja. Dengan kertas ini, seorang operator crane dianggap tahu cara menggerakkan beban tanpa menjatuhkan gedung sebelah. Dengan kertas ini, sebuah pabrik kimia diakui sah tidak jadi bom waktu. Intinya, K3 itu urusan hidup-mati, bukan metafora, tapi betulan.
“Camane orang Kemenaker, betul ndak?” Koreksi kalau benar.
Masalahnya, untuk mendapatkan sertifikat K3 lebih ribet dari mempertemukan Trump dan Putin. Ada pelatihan 12–15 hari, ujian teori, praktik, audit dokumen, dan menunggu tanda tangan pejabat yang kadang lebih sulit ditemui dari Presiden Kim Jong Un, macan Asia.
Biayanya pun tidak main-main. Kisaran Rp7–12 juta per orang untuk level Ahli K3 Umum. Kalau untuk perusahaan, bisa ratusan juta. Belum lagi antrean panjang karena lembaga pelatihannya terbatas. Maka wajar bila perusahaan stres, proyek harus jalan, pekerja menunggu, tapi sertifikat belum keluar.
Di titik inilah lahir paradoks K3. Ini dimaksudkan untuk menyelamatkan pekerja, tapi justru sering bikin perusahaan megap-megap. Ketika kebutuhan mendesak bertemu birokrasi berlapis, muncullah celah “jalur cepat.” Bisikan maut pun terdengar, “Mau sertifikat keluar cepat? Ada tarifnya.”
Menurut KPK, Noel diduga bermain di celah ini sejak 2019. Bayangkan, wak! Sertifikat yang seharusnya menyelamatkan nyawa malah jadi komoditas untuk menyelamatkan rekening pejabat. Tragis sekaligus ironis. K3 yang mestinya mencegah pekerja jatuh dari gedung, malah dipakai oknum untuk menjatuhkan moral negara.
“Camane orang Disnaker Kalbar, tul ndak itu?” Koreksi kalau benar.
Tapi mari kita lihat lebih jujur. Sertifikat K3 memang bukan sekadar formalitas. Ia adalah bukti bahwa forklift tidak disetir sembarangan, mesin pres tidak dijadikan mainan, helm keselamatan bukan aksesori cosplay. Sertifikat K3 adalah benteng terakhir agar pabrik tidak berubah jadi headline kebakaran tiap minggu.
Hanya saja, karena ia penting, mahal, sulit, dan dibutuhkan cepat, sertifikat ini lalu diperlakukan bak tiket konser dangdut H Rhoma Irama, resmi susah dapatnya, tapi calo selalu punya jalan. Bedanya, kalau tiket konser hanya bikin orang jingkrak, sertifikat K3 bisa bikin proyek hidup atau mati.
Maka pertanyaan pamungkasnya, apakah sertifikat K3 ini memang harus serumit itu, ataukah sistemnya memang sengaja dibuat rumit supaya ada ruang bermain? Yang jelas, tanpa sertifikat K3, perusahaan tak bisa jalan. Dengan sertifikat K3 yang diperdagangkan, keselamatan kerja berubah jadi komoditas.
So, apa itu sertifikat K3 sampai Noel harus memeras perusahaan? Ia adalah dokumen kecil dengan beban besar, keselamatan pekerja, masa depan perusahaan, dan, ternyata, nasib pejabat.
Sertifikat K3 bukan sekadar lembaran kertas, melainkan simbol kesadaran dan tanggung jawab bahwa keselamatan kerja adalah prioritas. Ia hadir sebagai pengingat bahwa di balik setiap helm, rompi, dan prosedur, ada keluarga yang menunggu pekerja pulang dengan selamat. Ketika perusahaan dan pekerja sama-sama menghargai pentingnya K3, mereka sedang menanam investasi jangka panjang, nyawa lebih aman, produktivitas meningkat, dan martabat manusia tetap terjaga.
Bila sertifikat K3 hanya dipandang sebagai formalitas birokrasi atau komoditas untuk mencari keuntungan pribadi, maka maknanya hilang. Justru di situlah bahaya bermula, karena keselamatan berubah jadi transaksi. Moral yang bisa kita petik, jangan pernah menggadaikan keselamatan dengan jalan pintas. Lebih baik melewati proses panjang dengan jujur daripada memperoleh sertifikat instan tapi kehilangan nyawa dan integritas. (*)
#camanewak