HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Atmakusumah, Orbit Pers Bertanggung Jawab

January 3, 2025 21:22
Kolase Foto: Hatipena
Kolase Foto: Hatipena

Sudarmono
(Mantan Wartawan Sumatera Post)

Di KELAS Investigative Reporting LPDS tahun 1999, Atmakusumah Astraatmadja memulai materi dengan alat peraga. Membuka tas jinjing, tangannya merogoh segepok koran, lalu menyeleksi dengan seksama. Kacamatanya yang nangkring di pangkal hidung, membantu mata terhadap surat kabar yang ingin ia temukan. Dan, satu koran ia buka dan tunjukkan kepada para siswanya.

Koran itu terbit di daerah (Kalimantan) dan merupakan media dari salah satu jaringan nasional. Saat itu belum banyak koran daerah yang cetak full colour, tetapi koran yang ditunjukkan Pak Atma itu sudah berwarna.

Foto utama di halaman satu, posisi landscape dengan porsi dominan dan berwarna cerah. Gambar yang terpajang adalah seorang pria kedot, telanjang dada, dengan tangan kiri menjambak rambut kepala laki-laki tanpa tubuh diacungkan ke atas di sisi kiri tubuhnya. Tangan kanannya menghunus pedang yang masih berdarah-darah, juga diacungkan ke udara. Tubuh pria itu juga belepotan darah.

Wajah pria dalam foto itu jelas. Ekspresinya seperti sedang berteriak sesumbar tentang kemenangannya. Garang! Sementara satu wajah lainnya, yakni potongan kepala yang dijambat tampak terpejam. Pria yang sedang selebrasi itu terlihat berdiri di atas mobil minibus.

Atmakusumah tidak lama memperlihatkan wajah halaman utama koran daerah itu. Saya sebagai salah satu peserta tidak ingat judul headline koran itu pada saat terbit dengan foto tersebut.

Pak Atma langsung menyimpan lagi koran itu. Lalu dengan menghela nafas, lelaki yang rambutnya tinggal sedikit itu melempar pertanyaan kepada siswanya. “Apa yang Anda pikirkan setelah melihat kebebasan pers tadi?”

Jumlah kami lebih dari 20 orang yang datang dari berbagai perusahaan media di pusat dan daerah. Tetapi tak seperti wartawan pada umumnya yang gacor, kelas itu cukup lama bisu. Beberapa yang kemudian bersuara bukan menjawab pertanyaan, tetapi berpendapat dengan aneka persepsinya.

Sesi Pak Atma ini memang membahas tentang kebebasan pers. Alat peraga yang dipakai Pak Atma sebagai pembuka sesi itu juga digunakan untuk mengukur seberapa tebal kepekaan kami sebagai pewarta terhadap suatu peristiwa, fenomena, atau apa pun yang terjadi di sekelilingnya.

“Apakah Anda terganggu dengan gambar tadi?” tanya dia lagi.

Pertanyaan itu memang tidak butuh jawaban. Yang berkerumuk dalam hati kami (setidaknya saya) adalah “kok tega-teganya pelaku pemenggalan kepala yang dipicu perang antaretnik itu.” Dan yang tak kalah tega lagi adalah, “kok tega-teganya media memuat foto itu di korannya.”

Materi kelas itu berlanjut. Pak Atma, seperti yang dituliskan Heri Wardoyo tadi pagi, adalah samuderanya ilmu, terlebih ilmu jurnalistik. Beliau adalah penjaga utama aspek “Kebebasan Pers” di Indonesia.

Dia adalah narasumber yang terus menginspirasi dan mampu memantik diskusi bersayap hingga masuk ke kerucut kukusan hingga matang sebagai menu yang bergizi untuk kehidupan.

Berbagai teori global, definisi, dan aneka ilmu fundamental ia kuasai dengan sangat rigid. Namun, detail dari setiap peristiwa dan fenomena juga dia cermati. Maka, tak heran jika Pak Atma menjelaskan secara perinci batasan etika jurnalistik, meskipun ukurannya sangat prerogatif pada setiap individu.

Ketika setiap media mencari dan membuat konten dengan membidik segmentasi untuk menarik minat baca dan minat tonton, yang pasti secara umum ada kecenderungannya. Yakni, apa dia sebuat sebagai instingtif manusia. Semua tak jauh dari sesuatu yang paling primitif, seperti seks, tragedi berdarah, konflik, yang lucu-lucu, yang unik-unik, kuliner, dan lainnya.

Lalu, apa ukuran yang pas membatasi kebebesan pers? Pak Atma bilang, “tanyakan kepada hatimu!”

Allohummaghfirlahu, Pak Atmakusumah Astraatmadja…hidup mulia dalam keabadian. (*)