HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Bahasa dan Simbolisme Adat

August 4, 2025 06:53
IMG-20250804-WA0018

Buku Seri (8) – Asal Muasal Marga Way Lima Kabupaten Pesawaran

Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)


Tabik Pun!

HATIPENA.COM – Di sebuah kampung di kaki Bukit Selalau, hiduplah seorang gadis penenun bernama Melan. Setiap hari, ia menenun tapis yang indah dari benang emas dan kapas. Namun yang membuat tenunannya istimewa bukanlah warnanya, melainkan pola-pola misterius yang muncul seolah-olah membisikkan pesan dari masa silam.

Suatu malam, dalam tidurnya, Melan bermimpi didatangi seorang nenek bersiger emas berkilau. “Anakku,” ujar nenek itu, “benang yang kautenun bukan hanya benang biasa. Ia adalah lidah nenek moyangmu. Bacalah, dan kau akan tahu siapa dirimu.”

Keesokan harinya, Melan mencoba membaca pola-pola tapisnya dengan lebih saksama. Ia mulai melihat bahwa setiap motif bukan hanya hiasan, melainkan simbol adat, petuah, dan doa yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia pun bersumpah menjaga tenun itu seperti menjaga jati dirinya.

Bahasa dan simbol adalah dua aspek mendasar dalam membentuk jati diri budaya. Dalam masyarakat adat Lampung, terutama wilayah pesisir seperti Way Lima, simbol-simbol adat seperti siger (mahkota), kain tapis, dan bahasa Lampung Pesisir bukan hanya sekadar alat komunikasi atau ornamen estetis.

Mereka adalah wadah nilai-nilai spiritual, sosial, dan filosofis yang mengikat satu generasi dengan yang lainnya. Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri bagaimana simbolisme adat Lampung menyimpan makna yang dalam, serta bagaimana bahasa dan artefak budaya berperan dalam pelestarian identitas di tengah modernisasi.

Siger bukan hanya simbol mahkota kebesaran wanita Lampung, tetapi juga perlambang nilai “piil pesenggiri”, etika kehormatan, harga diri, dan sopan santun dalam berinteraksi. Siger, dengan tujuh hingga sembilan pucuk, mencerminkan prinsip kemuliaan dan kearifan. Dalam konteks sejarah, jumlah pucuk dalam siger menggambarkan kesatuan adat, seperti tujuh pucuk adat Pesisir dan sembilan pada masyarakat Pepadun.

Warna emas pada siger bukan hanya lambang kemewahan, tetapi simbol kemuliaan batin. Bentuknya yang menjulang ke atas melambangkan keagungan, harapan, dan keterhubungan spiritual dengan sang pencipta. Perempuan yang mengenakan siger di acara adat menandakan bahwa ia bukan hanya bagian dari upacara, tetapi pelanjut peradaban.

Kain tapis adalah sejenis sarung tenun tradisional yang digunakan dalam upacara adat, pernikahan, dan penyambutan tamu agung. Namun lebih dari itu, tapis menyimpan lambang-lambang yang mencerminkan filosofi hidup masyarakat Lampung. Motif perahu misalnya, mengandung makna perjalanan hidup dan pencarian ilmu. Motif flora dan fauna menunjukkan hubungan harmonis manusia dengan alam.

Tenun tapis ditenun dengan teknik dan doa tertentu, mencerminkan niat baik, kesabaran, dan ketekunan pembuatnya. Seperti cerita Melan, setiap tenunan adalah seperti aksara yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang memahami makna spiritualnya. Kain ini menjadi semacam ‘kitab hidup’ adat Lampung.

Bahasa Lampung terbagi dalam dua dialek utama: dialek Api (Pesisir) dan dialek Nyo (Pepadun). Di Way Lima, dialek Api digunakan dalam percakapan sehari-hari dan upacara adat. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat pewarisan nilai.

Dalam bahasa Lampung, terdapat istilah-istilah adat seperti:
• Piil pesenggiri (harga diri),
• Nemui nyimah (keramahan menerima tamu),
• Nengah nyappur (berbaur secara sosial), dan
• Sakai sambayan (gotong royong).
Setiap istilah tidak hanya mengandung arti literal, tetapi juga nilai sosial dan spiritual. Hilangnya bahasa Lampung dalam tuturan sehari-hari berarti juga terputusnya tali nilai dan filosofi leluhur.

Dalam upacara adat seperti begawi (perayaan adat besar), simbol-simbol seperti siger, payung kuning, dan gajah berperan penting. Payung kuning melambangkan perlindungan dan keberkahan. Gajah sebagai lambang kekuatan, kepemimpinan, dan ingatan panjang terhadap sejarah.

Simbol-simbol ini tidak hanya hadir sebagai dekorasi, tapi memiliki tata letak dan makna tersendiri. Posisi siger dalam pelaminan, arah hadap payung, atau jumlah kain tapis yang dikenakan memiliki aturan adat yang jika dilanggar dianggap menciderai kehormatan leluhur.

Di era modern, banyak generasi muda mulai melupakan makna simbol-simbol ini. Tapis dipakai hanya sebagai ‘fashion’, bukan penghormatan. Siger dijadikan hiasan pengantin tanpa memahami maknanya. Bahasa Lampung digantikan oleh bahasa Indonesia dan bahkan asing.

Namun di sisi lain, ada upaya pelestarian melalui:

  1. Komunitas penggiat tenun tapis,
  2. Festival budaya seperti Festival Krakatau,
  3. Pembelajaran bahasa Lampung di sekolah,
  4. Digitalisasi simbol adat melalui media sosial dan animasi budaya.
    Upaya ini menunjukkan bahwa simbol dan bahasa adat tetap relevan, selama ada inovasi dalam pelestariannya.

Simbol adat seperti siger dan tapis juga merupakan alat meditasi kultural. Dengan memahaminya, seseorang bisa memahami prinsip hidup: keselarasan, kesabaran, kejujuran, dan penghormatan terhadap leluhur. Dalam filosofi Lampung, hidup bukan hanya untuk sekarang, tetapi juga untuk menjaga warisan masa lalu demi masa depan.

Sebagaimana kata-kata tua: “Nyak tulak nuhun ni juluk, nyak tunggu waris ni adat”, jangan biarkan nama hilang, dan jagalah adat sebagai warisan.

Melan bukan hanya penenun kain, tapi penenun identitas. Setiap tapis yang ia hasilkan, setiap kata Lampung yang ia ucapkan, adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Generasi kini punya tanggung jawab bukan hanya melestarikan fisik simbol, tapi juga maknanya.

Simbol dan bahasa adat adalah denyut nadi budaya. Jika mereka hilang, maka hilanglah ruh kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu, mari kita baca kembali tenunan-tenunan leluhur kita, dengarkan kembali bahasa ibu yang nyaris bisu, dan tegakkan kembali siger emas di kepala dan hati kita. (*)